Berbicara langsung dengan orang lain bagi banyak orang adalah hal yang sangat biasa. Saking biasanya, orang-orang tak merasa perlu untuk latihan. Namun, bagi orang introver, komunikasi langsung seperti itu bisa jadi sangat sulit, terutama ketika apa yang akan disampaikan adalah hal yang penting; yang tadinya bisa langsung mengungkapkan tanpa persiapan, kini perlu persiapan, ada yang tiba-tiba jadi grogi, dan kadang ada perasaan sungkan yang mengganjal. Komunikasi langsung yang mengharuskan dua orang bertatap muka dan mengungkapkan pikirannya kerap kali bukan pilihan orang-orang introver. Meskipun begitu bukan berarti mereka tak menginginkannya sama sekali. Mereka kadang kagum dengan orang-orang yang dengan mudah dapat berterus terang mengungkapkan pikirannya dan mereka diam-diam juga ingin bisa seperti itu.
Aku juga ingin seperti itu: mampu berkomunikasi dengan baik dan benar secara langsung sehingga semua maksud tercapai. Selama ini aku sering memendam pikiran-pikiranku, keinginanku, dan perasaanku karena tak mampu mengomunikasikannya secara langsung.
Aku sudah membaca beberapa buku terkait cara mengembangkan kemampuan berkomunikasi. Dari sana, aku mengetahui cara-cara berkomunikasi yang efektif. Misalnya, untuk bisa berkomunikasi efektif kita perlu menjadi pendengar yang baik; mengungkapkan pikirandengan lugas; berterus terang; jujur; dan tulus. Namun, ternyata pengetahuanku hanya berhenti sebatas pada pengetahuan saja.
Aku sudah membuktikan sendiri hal ini. Ketika aku berhadapan dengan kepala sekolah dengan niat ingin mengajukan pengunduran diri, yang terjadi malah aku diceramahi tanpa sempat mengutarakan maksudku. Aku selalu berusaha jadi pendengar yang baik, tapi sebagai balasannya kadang orang malah menjadikanku tempat membuang uneg-unegnya atau tempat berceramah.
Hari itu, Sabtu 13 November 2021 setelah mengajar, aku menghadap kepala sekolah untuk meminta maaf sebab sudah terlalu sering tidak berangkat kerja karena ada kegiatan lain di madrasah. Niatnya, di kesempatan itu aku akan sekaligus mengutarakan maksudku untuk mengundurkan diri. Aku sudah menyusun alasan-alasanku di rumah. Tapi nyatanya tetap sulit mengutarakannya.
Ada beberapa alasan yang menurutku berpengaruh terhadap kegagapanku saat itu.
Pertama, kurangnya pengalamanku. Aku memang jarang bicara hal-hal yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan. Aku lebih sering menghindarinya. Sebab itulah pengalamanku berkonfrontasi dengan orang lain sangat sedikit. Ini tentu berkontribusi besar pada kegagapanku.
Kedua, kurang persiapan. Harus kuakui aku memang sangat minim persiapan. Aku hanya menyiapkan alasan-alasanku tanpa membuat skenario pembicaraan. Ketiga,kurang bisa bicara jujur. Jujur yang kumaksud adalah jujur pada diri sendiri, lalu dengan penuh kerendahan hati mengungkapkannya pada orang lain secara tulus.
Aku merasa masih berada dalam masa kolonialisme yang dipenuhi dengan feodalitas. Tak peduli aku telah membaca buku-buku dari zaman modern, kefeodalitasan dalam diriku masih menancap kuat di pikiran. Akar-akarnya masih kuat mencengkramku sampai kini. Kadang, rasanya jijik melihat diri sendiri masih seperti itu. Tapi tentu itu bukan salahku. Keadaan memang demikian adanya. Hal ini juga banyak menyumbang hambatan dalam kemampuan komunikasi langsungku.
Saat ini, sepertinya komunikasi secara tertulis akan jadi pilihan utama bagi orang-orang introver sepertiku. Namun, tentu ini bukan solusi selamanya. Aku harus tetap melatih komunikasi langsungku dengan orang lain. Berusaha memilih keberanian dan tenggang rasa secara bersamaan. Mencari kejujuran di dalam tindakan dan perkataan. Sebab, ada kalanya kita harus memilih komunikasi secara langsung.
Minggu, 14 November 2021; 09.00
Komentar
Posting Komentar