Langsung ke konten utama

Pesta Siaga dan Keresahan yang Kurasakan

Aku tahu bahwa maksud pelaksanaan pesta siaga bertujuan baik, yaitu sebagai sarana pembentuk karakter siswa. Namun, praktik yang kutemukan justru membuatku muak. Hal-hal yang membuat aku muak antara lain: 

Pertama, di sekolah tempatku bekerja tak ada ekstrakurikuler Pramuka. Anak-anak hanya dilatih saat akan ada acara pesta siaga saja. Selain itu tak ada latihan apapun atau kegiatan apapun yang berkaitan dengan Pramuka. Serba instan. Inilah yang aku tak suka. 

Kedua, fokus sekolah adalah meraih prestasi untuk mengharumkan nama sekolah. Itulah mengapa yang dipilih adalah anak-anak terbaik. Jika memang tujuan awal adalah pembentukan karakter harusnya siapapun yang ingin mengikutinya boleh-boleh saja diikutsertakan. Jika peserta yang boleh ikut dibatasi, paling tidak sekolah memfasilitasi anak-anak lain yang tak kebagian jatah dengan kegiatan lain yang juga fokus dalam pembentukan karakter. 

Ketiga, latihan dilakukan saat jam pelajaran. Ini sangat mengganggu kegiatan pembelajaran di kelas. Saat aku menjadi wali kelas empat, separuh dari siswaku harus ikut latihan pesta siaga setiap hari selama jam pelajaran. Pesta siaga adalah kegiatan tambahan yang harusnya dilakukan saat jam pelajaran telah selesai. 

Sebenarnya, tentu saja ada banyak manfaat yang bisa diperoleh siswa dengan ikut pesta siaga. Mereka belajar hal-hal yang tak dipelajari di pelajaran umum seperti tali-temali, kompas, kesenian seperti tari atau nyanyian, dan yang paling penting kepemimpinan. Namun, yang paling mengganjal pikiranku adalah kerap kali siswa yang dipilih sekolah adalah siswa-siswa yang terbaik karena sekolah takut nama baik sekolah jadi buruk kalau peserta yang diberangkatkan adalah siswa yang biasa-biasa saja. Dari awal, niat sekolah bukanlah untuk kepentingan membentuk karakter siswa melainkan untuk menjaga reputasi sekolah. Ini membuat siswa terbebani dengan target juara yang harus diraih dengan beban latihan yang cukup intensif. 

Di sekolahku, mereka yang terpilih biasanya keluar kelas saat jam pelajaran berlangsung untuk latihan. Sedangkan yang tak terpilih akan tinggal di kelas untuk mengerjakan LKS. Guru kelas akan melatih siswa-siswa yang terpilih secara intensif, sedangkan siswa yang tak terpilih hanya diberi tugas mengerjakan LKS yang sangat menjemukan itu. Bagiku ini sangat menyebalkan. Ini berlangsung hampir satu bulan penuh. 

Di satu sisi sebagian siswa dibimbing dengan sangat intensif agar mendapat juara, di sisi lain sebagian yang lain hanya diberi tugas mengerjakan LKS untuk sekadar menunggu waktu pulang sekolah. 

Separuh jumlah dari siswa di kelasku ikut latihan pesta siaga separuhnya lagi tinggal di kelas. Aku jadi harus menyampaikan pelajaran dua kali karena separuh siswaku ikut latihan pesta siaga. 

Hal lain yang menyebalkan dari pesta siaga adalah pada saat pelaksanaan ada pos-pos tertentu yang tak mencatatkan nilai peserta pada kartu kendali setelah peserta menyelesaikan tugas di pos itu. Banyak yang beranggapan itu disengaja untuk memanipulasi nilai agar didapatkan regu terbaik yang sesuai dengan keinginan mereka (panitia) tanpa benar-benar memandang kualitas peserta. Kalau di pos-pos yang lain nilai bisa langsung dituliskan di kartu kendali mengapa di pos-pos tertentu tidak? Padahal untuk menuliskannya tak butuh waktu lama? Apakah menilai performa para peserta sebegitu sulitnya? Entahlah. 

Aku pernah sangat kaget, saat sekolahku yang menampilkan tarian lengkap dengan alat musik yang dimainkan oleh anak-anak sendiri, dan mendapatkan tepuk tangan sangat meriah dari penonton, mendapatkan nilai yang terpaut amat jauh dengan penampilan siswa dari sekolah lain yang biasa-biasa saja dengan koreografi yang biasa-biasa saja hasil jiplakan di YouTube dengan musik yang mungkin juga diunduh dari YouTube. 

Sekolahku dapat poin hanya 70 sedangkan sekolah itu dapat poin 95. Hampir sempurna. Sebelum pentas, kami telah membaca baik-baik seluruh kriteria penilaian dan aturan yang berlaku dan tak ada pelanggaran dalam pementasan kami. 

Kami bahkan dilarang menggunakan pengeras suara. Alasannya sungguh aneh: pengeras suara yang ada di panggung bukan pengeras musik. Namun saat pentas seni regu SMP yang juga menggunakan alat musik sama seperti kami, pengeras suara itu ternyata digunakan. 

Dari kejadian ini, kami kapok untuk tampil totalitas di pentas seni, kalau pada akhirnya hasilnya tetap di kisaran nilai 70-an tidak beda dengan sekolah-sekolah lain yang tampil seadanya. Buat apa repot-repot bawa alat musik seabrek-abrek bikin capek doang. 

Dari kejadian ini, kami memutuskan untuk tampil biasa-biasa saja di kesempatan lain dan hanya latihan sekitar satu minggu, dan nilai kami tetap 70. Jadi, tidak ada bedanya latihan satu bulan penuh dengan mengundang pelatih yang ahli di bidangnya dan yang hanya latihan ala kadarnya bermodal video YouTube. Wwkwkw

Inilah akibatnya kalau tujuan awal sekolah ikut pesta siaga bukan untuk membimbing siswa namun hanya untuk prestise sekolah. Saat tidak mampu memperoleh juara, yang didapat adalah kekecewaan bukan kepuasan karena telah sepenuh hati dan sepenuh usaha membimbing siswa. Kalau tujuannya untuk membimbing siswa, mengasah bakat siswa, tidak peduli nilai apa nanti yang akan didapatkan, sekolah akan tetap memberikan yang terbaik buat siswa, mengundang pelatih terbaik buat siswa, dan melatih serta membimbing siswa dengan penuh perhatian.  

Begitulah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziah

Jumat, 14 Februari 2025 Hari ini kamu takziah di Dawuhan. Ibu dari guru bernama Eka, yang sekaligus operator RA, meninggal dunia. Ternyata suami Bu Eka adalah murid Pak Ifin dulu kala. Di depan rumah ada pohon durian yang berbuah cukup lebat. Aku heran, mengapa orang-orang seperti terkoneksi satu dengan yang lainnya. Saat orang menyebutkan satu nama, maka akan merembet ke nama-nama lain yang sama-sama dikenal. Sungguh terlalu. Setelah takziah, kamu mampir ke rumah ibumu di Pucungsari. Nanti setelah salat Jumat, kamu akan muyen ke Sikasur.  Tadi di sekolah rasanya puas saat melaksanakan pembelajaran dengan sungguh-sungguh. Materi Haji dikemas dengan sedikit permainan kelompok menjadi sedikit lebih seru dan menarik perhatian siswa. Yang biasanya ngobrol dan tak mendengarkanmu tadi lumayan mendengarkanmu. Ya, lumayan. 

Direktori Kenalan di MTs N 2 Banjarnegara

Hari ini aku mengenal beberapa orang di MTs N 2 Banjarnegara:  Ibu Anti. Guru bahasa Inggris. Penulis soal ANBK. Berasal dari Kendal. Ngekos di sekitar lokasi madrasah. Bisa bawa motor sendiri. Mudah akrab dengan orang-orang. Lulusan Unnes. Punya rencana menikah di waktu dekat ini. Berangkat ke kantor nyangking rames. Ibu Vita. Guru Bahasa Jawa. Berasal dari Talunamba, Kec. Madukara. Sebelum menjadi guru, dulu bekerja sebagai seorang perangkat desa. Lumayan bisa main gamelan. Lulusan Unnes. Sepertinya suka nyanyi.  Ibu Alta/Annisa. Guru BK. Berasal dari Susukan. Bisa nyanyi.  Ingin mengubah citra Guru BK sebagai guru yang ramah dan penuh cinta.  Ibu Sofie. Guru SKI. Berasal dari Purbalingga. Tidak bisa naik sepeda motor sendiri. Ijazahnya adalah pendidikan sejarah. Lulusan UIN Saizu Purwokerto. Bapak Wahyu. Kepala Tata Usaha MTs N 2 Banjarnegara. Tinggi dan tenang pembawaannya. Asal dari Mandiraja.  Bapak Wangit. Waka Kurikulum. Orangnya ceplas-ceplos. Asal dar...