Langsung ke konten utama

Segala yang Tak Tersentuh dan Hari Cukur Migura


"Udara pagi yang sejuk. Siraman cahaya matahari yang hangat. Angin masih dingin. Orang-orang keluar satu demi satu dari rumahnya. Pemandangan bukit Karang Gemantung yang disepuh sinar matahari pagi entah mengapa sedikit mendamaikan pikiranku. Aku jadi hangat di dalam."


SEGALA YANG TAK TERSENTUH

Pagi-pagi sekali aku pergi ke warung mustamil mengantar istri beli plastik bungkus moci yang kurang. Pemandangan bukit Karang Gemantung yang disiram matahari pagi sungguh bagus. Di foto ini tak terlalu bagus memang. Tapi, kalau lihat langsung itu lebih bagus, menurut saya tentu saja. Nabil main klakson motor dan kuncinya. Menutup lubang kunci dan memintaku membukanya lagi. Ibunya beli donat di penjual sayur yang tak lain adalah Mbah Warso.

Selanjutnya adalah rutinitas yang tak terlalu penting untuk ditulis. Namun, itu kulakukan setiap hari. Jadi, yang tek terlalu penting untuk ditulis itu justru seringkali adalah bagian terbesar kita. Maksudku, itulah aktivitas kita yang paling memakan banyak waktu. Seperti berangkat kerja, mengajar, istriahat di rumah, dan lain-lain.

Waktu seperti sangat cepat berlalu bagiku. Apakah ini tandanya akau bahagia? Bukankah waktu terasa lebih cepat bagi orang yang bahagia? Hahaha. Mungkin saja ini pertanda bahwa aku terlalu ambisius. Ya, terlalu banyak hal yang ingin kukerjakan. Namun, nyatanya aku orang yang payah dan malas. Payah dalam mengatur waktu. Mungkin lebih tepatnya mengatur prioritas. Waktu jadi terasa cepat berlalu karena aku tak bisa pelan-pelan menata prioritasku. Tiba-tiba sudah sore dan pekerjaanku masih banyak. Aku kekurangan waktu. Aku kekurangan waktu meskipun setiap hari selalu saja 24 jam. Waktu jadi terasa cepat berlalu.

Ada banyak yang tak tersentuh. Tapi, bukankah tak apa? Kita bukan siapa-siapa, kan? Apakah kamu merelakan hal-hal yang tak tersentuh itu memakan pikiranmu? Menarikmu dari kenyataan dan menjerumuskanmu kedalam ketidakpuasan hidup? Apa salahnya jika ada banyak hal yang tak tersentuh. Bukankah kamu hanya dibekali dua tangan? Ya, kawan, kamu benar. Aku memang hanya dibekali dua tangan dan seharusnya kugunakan untuk hal-hal yang paling penting. Baiklah, mari kita lupakan saja hal-hal yang tak mampu kita sentuh.

HARI CUKUR MIGURA

Hari cukur Migura maksudku adalah hari ketika semua anak laki-laki di Migura dicukur rambutnya. Pak Edi dari Koramil datang dan memberikan petuah-petuah yang cukup militeristik, salah satunya adalah cukur rambut bagi siswa putra yang rambutnya gondrong. Kami mengundang dua pencukur rambut. Satu dari Bogoan dan yang lainnya dari Tambakan. Semua siswa putra bergiliran menyetorkan kepalanya dengan sedih bercampur kesal dan terpaksa. Ada juga yang biasa-biasa saja. Sebenarnya aku tak terlalu suka penyeragaman seperti ini. Tapi, ya sudahlah. 

Pak Edi memberi komando kepada para siswa dan sangat mudah dituruti oleh para siswa. Ini membuatku berpikir tentang perbedaan besar antara pendidikan militeristik dan pendidikan sekolah. Pendidikan yang militeristik menekankan kepatuhan total. Pendidikan sekolah mengarah atau lebih cenderung bertujuan untuk membuat anak berpikir kritis. 

Ada perbedaan kecepatan siswa menuruti perintahku sebagai guru dengan Pak Edi sebagai tamu. Pak Edi cukup memberi perintah satu atau dua kali dan siswa akan melakukannya, paling banyak mungkin tiga kali. Aku, sebagai guru, mungkin harus mengulangnya hingga lima kali baru siswa mau melakukan apa yang kuminta. 

Pak Edi: Lakukan A karena kalian harus melakukan A. 
Siswa: Siap, Pak. 

Aku: Lakukan A Karena A adalah tindakan yang paling tepat di antara B, C, dan D. 
Siswa: Enggak, Pak. D itu sama saja dengan A. Saya mau D saja.
Aku: Tidak! D tidak sama dengan A. Mereka hanya terlihat sama di luarnya. Namun esensinya berbeda.
Siswa: Apa bedanya, Pak?
Aku: A mengharuskanmu melakukannya dari awal hingga akhir dengan tanganmu sendiri. Sementara D lebih fleksibel dan memungkinkanmu berbuat curang. Lebih baik menutup kemungkinan berbuat curang daripada terjerumus ke dalamnya. 
Siswa: Iya juga, ya! Oke, Pak, aku kerjakan deh!

Kurang lebih seperti itulah perbedaannya. Ada hal-hal yang masih bisa ditawar dan ada hal-hal yang sudah prinsip. Mungkin. Yah, aku masih harus banyak belajar pada akhirnya. 

Aku harus lebih tegas pada hal-hal yang sifatnya prinsip, seperti menghargai orang lain, kejujuran, dan lain-lain. Dan, lebih fleksibel pada hal-hal yang masih bisa dipikirkan ulang seperti tugas, mungkin. Seragam? 

Aku harus pikirkan ini lagi. Kapan-kapan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziah

Jumat, 14 Februari 2025 Hari ini kamu takziah di Dawuhan. Ibu dari guru bernama Eka, yang sekaligus operator RA, meninggal dunia. Ternyata suami Bu Eka adalah murid Pak Ifin dulu kala. Di depan rumah ada pohon durian yang berbuah cukup lebat. Aku heran, mengapa orang-orang seperti terkoneksi satu dengan yang lainnya. Saat orang menyebutkan satu nama, maka akan merembet ke nama-nama lain yang sama-sama dikenal. Sungguh terlalu. Setelah takziah, kamu mampir ke rumah ibumu di Pucungsari. Nanti setelah salat Jumat, kamu akan muyen ke Sikasur.  Tadi di sekolah rasanya puas saat melaksanakan pembelajaran dengan sungguh-sungguh. Materi Haji dikemas dengan sedikit permainan kelompok menjadi sedikit lebih seru dan menarik perhatian siswa. Yang biasanya ngobrol dan tak mendengarkanmu tadi lumayan mendengarkanmu. Ya, lumayan. 

Direktori Kenalan di MTs N 2 Banjarnegara

Hari ini aku mengenal beberapa orang di MTs N 2 Banjarnegara:  Ibu Anti. Guru bahasa Inggris. Penulis soal ANBK. Berasal dari Kendal. Ngekos di sekitar lokasi madrasah. Bisa bawa motor sendiri. Mudah akrab dengan orang-orang. Lulusan Unnes. Punya rencana menikah di waktu dekat ini. Berangkat ke kantor nyangking rames. Ibu Vita. Guru Bahasa Jawa. Berasal dari Talunamba, Kec. Madukara. Sebelum menjadi guru, dulu bekerja sebagai seorang perangkat desa. Lumayan bisa main gamelan. Lulusan Unnes. Sepertinya suka nyanyi.  Ibu Alta/Annisa. Guru BK. Berasal dari Susukan. Bisa nyanyi.  Ingin mengubah citra Guru BK sebagai guru yang ramah dan penuh cinta.  Ibu Sofie. Guru SKI. Berasal dari Purbalingga. Tidak bisa naik sepeda motor sendiri. Ijazahnya adalah pendidikan sejarah. Lulusan UIN Saizu Purwokerto. Bapak Wahyu. Kepala Tata Usaha MTs N 2 Banjarnegara. Tinggi dan tenang pembawaannya. Asal dari Mandiraja.  Bapak Wangit. Waka Kurikulum. Orangnya ceplas-ceplos. Asal dar...

Pesta Siaga dan Keresahan yang Kurasakan

Aku tahu bahwa maksud pelaksanaan pesta siaga bertujuan baik, yaitu sebagai sarana pembentuk karakter siswa. Namun, praktik yang kutemukan justru membuatku muak. Hal-hal yang membuat aku muak antara lain:  Pertama, di sekolah tempatku bekerja tak ada ekstrakurikuler Pramuka. Anak-anak hanya dilatih saat akan ada acara pesta siaga saja. Selain itu tak ada latihan apapun atau kegiatan apapun yang berkaitan dengan Pramuka. Serba instan. Inilah yang aku tak suka.  Kedua, fokus sekolah adalah meraih prestasi untuk mengharumkan nama sekolah. Itulah mengapa yang dipilih adalah anak-anak terbaik. Jika memang tujuan awal adalah pembentukan karakter harusnya siapapun yang ingin mengikutinya boleh-boleh saja diikutsertakan. Jika peserta yang boleh ikut dibatasi, paling tidak sekolah memfasilitasi anak-anak lain yang tak kebagian jatah dengan kegiatan lain yang juga fokus dalam pembentukan karakter.  Ketiga, latihan dilakukan saat jam pelajaran. Ini sangat mengganggu kegiatan pembela...