Manusia lahir ke dunia tanpa mengusung ideologi apapun. Ia mbrojol begitu saja dari lubang vagina ibunya sebagai seonggok bayi. Ia berkulit sensitif dengan warna kemerah-merahan. Itulah warna paling kentara yang ia miliki. Kelak, dunia akan melukis warna-warna lain dalam kehidupannya.
Beberapa detik setelah terlahir, ia akan menangis sebagai respon terhadap dunia baru yang kini ia hadapi. Dunia baru ini mungkin kejam buatnya atau malah memanjakannya. Setiap ibu akan bahagia mendengar bayinya menangis pertama kali, sebab itu merupakan tanda bahwa bayinya terlahir sehat.
Bayi itu akan tumbuh dengan bantuan orang-orang di sekitarnya. Perlahan ia mulai bisa mengatakan beberapa kata. Biasanya kata “ibu”, “mama”, adalah kata pertama yang mereka ucapkan. Secara fisik maupun psikis, ibu adalah yang paling dekat dengan si bayi. Ibu jugalah yang akan mengenalkan dunia kepada si bayi.
Si bayi tumbuh dengan cepat. Ia mulai merangkak, menjelajahi setiap ruangan di rumah ibunya. Ia mulai menggapai-gapai benda-benda yang ada di sekitarnya meski kekuatan genggamannya masih terlalu lemah. Ia terus menggapai-gapai hingga ia mampu berdiri dengan bantuan tangannya.
Ia belajar berjalan perlahan-lahan hingga setelah berkali-kali terjatuh, ia berhasil menuju ibunya dengan tertawa. Sesekali sebelum berhasil, ia jatuh tersandung dan menangis. Tapi ia tak menyerah hingga ia berjalan dengan benar.
Saat si bayi mampu berjalan, saat itulah jangkauan dunianya semakin luas. Saat ia merangkak, ia hanya bermain di sekitar ruang tamu saja. Setelah mampu berjalan, ia menjangkau seluruh ruangan yang ada di rumah ibunya.
Si bayi tumbuh menjadi seorang anak dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Ia menyentuh dan merasakan apapun benda yang ia lihat menarik. Kemampuan menyimpan informasinya luar biasa. Ini merupakan keajaiban yang dianugerahkan kepada manusia.
Ia mulai mengenal orang-orang di sekitarya. Ia mengenal ibunya, ayahnya, kakek atau neneknya, adaik dan kakaknya, dan orang-orang di sekitarnya. Biasanya ia akan terbiasa dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini akan membuat setiap orang asing yang datang kepadanya bisa saja tertolak dengan tangisannya. Ini seperti mekanisme pertahanan sederhana yang begitu luar biasa dimiliki seorang anak.
Sampai di sini, si anak masih sangat independent dengan dirinya sendiri. Semua keputusan yang ia ambil berdasarkan apa yang menurutnya benar tanpa mempertimbangkan pengaruh dari luar dirinya. Ia masih sangat murni seperti logam-logam mulia yang berkilau setelah dibakar dengan apai membara sebagai penyucian.
Ia mulai tumbuh besar dan mulai mengenal bahasa. Ia mulai mengucapkan apa-apa yang dituturkan oleh orang tuanya atau orang-orang di sekitarnya. Saat inilah pengaruh dari luar mulai masuk dan membentuk dirinya sebagai manusia.
Kita semua tahu bahwa bahasa tak pernah netral. Ia tidak terlahir begitu saja ke dunia ini. Ia selalu terlahir bersama kepentingan-kepentingan manusia, tujuan-tujuan manusia. Bahasa selalu dan akan tetap menjadi alat untuk mencapai kepentingan manusia. Itulah mengapa, hingga kini bahasa selalu dipelajari oleh manusia dan selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Kita juga tahu, bahwa negeri ini dapat bersatu karena suku-suku bangsa yang ada di dalamnya punya persamaan nasib dan tujuan. Karena persamaan itulah suku-suku bangsa di negeri ini mulai bersatu dan merasa mempunyai ikatan. Ikatan tersebut belum sepenuhnya kuat karena mereka masih mempunyai jarak di antara mereka berupa perbedaan bahasa. Saat semua atau sebagian orang sadar bahwa ikatan yang mereka bangun belum cukup kuat, maka dirumuskanlah bahasa baru yang dapat digunakan oleh semua bangsa itu. Bahasa inilah yang akan memperkuat ikatan yang mereka buat, selain, tentu saja wilayah dan ras yang sama. Begitulah. Bahasa tak pernah netral.
Sebagai manusia tentu saja si anak membutuhkan pemahaman dan penguasaan terhadap bahasa. Saat itulah, sadar atau tidak, orang tua mereka mulai memperkenalkan bahasa kepada si anak dan membentuk karakter anak tersebut. Sebagai contoh, ketika orang tua meminta anaknya untuk menirukan kata-kata yang berhubungan dengan anggota keluarga, misalnya, “kakak”, “paman”, “adik”, “kakek”, maka pada saat itu sebenarnya orang tua sedang membentuk anaknya menjadi manusia yang mengerti tentang persaudaraan. Anak tersebut akan mengerti bahwa manusia yang disebut paman adalah saudaranya dan harus ia hormati.
Si anak kemudian tumbuh semakin besar dan jangkauan pergaulannya semakin meningkat. Ia mulai mengenal lingkungannya sendiri. Ia mulai mengenal televisi, ia mulai mengenal nama-nama semua benda yang ada di rumahnya.
Si anak juga mulai mengenal teman-teman sebayanya ketika orang tuanya mengajaknya bermain. Si anak mulai mendapatkan pengaruh dari luar semakin banyak. Saat itulah si anak tidak pernah sama lagi. Ia kini menjadi bukan dirinya seutuhnya. Ia adalah dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya. Begitulah si anak terbentuk dari lingkungannya.
Ada yang sangat berbahaya bagi pembentukan karakter si anak. Orang tua seringkali “mengajak” atau lebih tepatnya membiarkan anaknya menjadi teman menonton televisi. Orang tua menonton tayangan-tayangan televisi yang sebenarnya disajikan untuk orang-orang dewasa yang secara logis telah mampu membedakan mana yang baik untuknya dan mana yang buruk. Tapi, di sini mereka melupakan anaknya sendiri yang belum punya kemampuan itu. Mereka kebanyakan membiarkan anaknya menemaninya menonton televisi. Padahal, yang seharusnya terjadi adalah para orang tua menemani anaknya menonton televisi.
Pengaruh ini akan membentuk mentalitas anak dengan cepat. Tayangan-tayangan televisi tentu saja sarat dengan kepentingan –kepentingan. Sebagai contoh, iklan prodak kecantikan akan membentuk persepsi anak bahwa cantik harus sesuai dengan apa yang ia saksikan pada iklan yang ia tonton. Cantik haruslah putih, tinggi berambut panjang, lurus dan tebal. Persepsinya mengenai cantik menjadi sempit. Meskipun ketika dewasa nanti ia akan mempunyai persepsi yang berbeda berkaitan dengan kecantikan, namun, persepsi yang telah lama tertancap dalam pikirannyalah yang paling mendominasi.
Kita tahu, bahwa sampai saat ini manusia belum mampu benar-benar lepas dari pengaruh di luar dirinya. Mungkin saja, manusia tak akan mampu lepas dari pengaruh itu sampai hari kiamat kelak.
Si anak kini tumbuh dengan baik dengan berbagai pengaruh yang ia terima dari luar dirinya. Apabila orang tuanya jeli, dan dapat menyaring pengaruh-pengaruh itu dengan baik, jadilah si anak tumbuh menjadi manusia yang baik pula.
Komentar
Posting Komentar