Langsung ke konten utama

Nostalgia Plesiran Gratis Zaman SMA

Sudah lama aku tidak mengunjungi objek wisata di Banjarnegara. Situasi dan kondisi tak memungkinkanku melakukannya meskipun aku ingin. Aku menulis kenangan lamaku di tempat-tempat wisata di Banjarnegara yang aku kunjungi secara gratis.

Curug Sikopel

Yang pertama aku ingat adalah Curug Sikopel di Pagentan. Anak tangga dari pahatan tanah yang berkelok-kelok menuruni tebing adalah jalan yang harus kulalui untuk sampai di Curug Sikopel. Aku pernah ke sana beberapa kali dengan teman-temanku: Amin, Rizki, Susmi, Supi, dan Eko kalau tidak salah.

Jalan yang sudah dekat dengan Curug Sikopel tak terawat. Rumput dan alang-alang dan semak tumbuh di sisi kanan jalan menutupi pandangan. Pohon nangka yang menjulang dan pohon kaliandra yang sengaja ditanam para peternak kambing mencuat di kanan dan kiri tangga.

Ada jembatan dari semen yang sudah berlumut di sana tempat yang cukup bagus untuk berfoto.

Turun dengan menahan berat badan dan naik dengan mengangkat berat badan. Gerbang masuk dan keluar jadi satu, tak terawat, dan tak berpenjaga. Tentu saja kami masuk dengan gratis.

Bagaimana kondisinya sekarang? Entahlah.

Perjuangan menuju Curug Sikopel tak dimulai dari gerbang penjualan loker. Kami yang tinggal di bawah--sebutan untuk kami yang tinggal di Banjarnegara bagian kota--harus melewati jalanan rusak dengan motor kami selama kurang lebih satu setengah jam. Melewati hutan pinus yang dingin dan gelap, jalanan Celapar yang rusak seperti sungai yang kekeringan, hingga jalanan Pagentan yang rusak dan berkelok-kelok di bibir tebing. Sungguh untuk mencapainya adalah perjuangan epik.

Tampomas

Yang pertama kali terlintas di benakku saat menyebut kata Tampomas adalah panas. Berkunjung ke Tampomas di siang hari adalah ide buruk karena di sana sangat panas. Mungkin karena panas dari matahari dipantulkan dan diserap oleh bebatuan di sana tanpa ada penghalang dari pepohonan. Tapi, meskipun demikian kami (aku, Eko, Amin, Agung, Rizki, dan Tama) tetap saja berkunjung ke sana setelah pulang sekolah.

Kami naik sepeda motor lewat jalur jalan yang sudah rusak dan berbatu. Memang objek wisata ini tak terawat. Mungkin karena masih aktif sebagai daerah tambang batu membuat orang-orang enggan datang ke sana.

Sepinya pengunjung membuat pengelola enggan mencurahkan usaha untuk merawatnya. Tapi, tulisan ini bukan untuk membahas mengapa tempat wisata itu sepi.

Aku bermaksud menulis pengalamanku mengunjunginya saat objek wisata ini masih sangat terbengkalai. Kami naik motor setelah pulang sekolah. Aku masih ingat kala itu aku memakai jaket hijau. Tak ada apa-apa di Tampomas selain kolam luas dan mobil truk pengangkut batu yang dari atas tebing terlihat seperti mobil mainan.

Kami berkunjung lewat atas tebing dan berfoto di sana. Seperti laiknya remaja yang lain di sekitar tahun duaribuan, kami berfoto dan menambahkan kata-kata alai dalam foto itu, seperti tentang persahabatan dan lain halnya. Kami menjelajah area atas dengan berjalan kaki dan menuruni tebing dengan hati-hati.

Aku begitu takjub dengan bunga teratai yang sedang mekar. Di bawahnya berlindung ikan-ikan kecil dari sinar matahari yang amat terik. Kami berfoto di tebing batu yang telah ditambang. Eko naik ke tengah-tengah tebing meski itu berbahaya. Ya, begitulah masa muda.

Kami sering melakukan hal-hal bodoh yang kalau dipikir-pikir sekarang, ternyata itu sangat berbahaya. Aku pernah sengaja melintasi jembatan kayu yang sebagian besar bagiannya sudah rapuh. Aku melintasinya dengan sepeda motorku. Untunglah aku berhasil melewatinya dengan selamat meski di saat-saat terakhir ada satu bagian dari jembatan yang patah saat roda belakang motorku melewatinya. Aku tak tahu apa jadinya jika waktu itu aku jatuh ke dalam sungai. Tentu aku tak akan menulis ini.

Di Tampomas ada gunung yang disebut gunung lanang. Yang kumaksud gunung lanang adalah sebuah batu besar yang mencuat tinggi sekali seperti sebuag gubung. Kami mengunjunginya lewat jalan setapak.

Kami berkunjung ke rumah saudaranya Eko. Eko mengajak kami ke sebuah kebun. Di sana kami kehausan dan menemukan pohon kelapa dengan kelapa mudanya yang sangat menggiurkan. Aku memanjatnya dengan yakin karena Eko bilang itu milik Mbahnya.

Saat berhasil menurunkan beberapa buah kelapa muda, tiba-tiba Eko bilang ia lupa apakah pohon kelapa itu benar-benar milik Mbahnya. Sinting memang dia itu. Gara-gara ulahnya aku panik bukan main dan turun dari pohon kelapa secepat mungkin takut disangka maling.

Kami lari pontang-panting sambil membawa kelapa muda yang tadi kupetik. Setelah di tempat yang teduh, Eko bilang bahwa ia telah ingat memang pohon itu milik Mbahnya. Kami meminum air kelapa itu dengan sedikit khawatir.

Dieng

Dieng, mungkin menjadi tempat wisata yang paling sering aku kunjungi. Biasanya aku berkunjung setelah pulang sekolah bersama teman-temanku atau saat liburan. Aku bisa mengunjungi Dieng bagian Banjarnegara atau Wonosobo.

Ada banyak yang bisa menjadi tujuanku di sana. Namun, karena kami hanya sekelompok siswa SMA yang tak punya penghasilan sendiri tapi ingin selalu berkelana maka kami hanya bisa mengunjungi tempat-tempat yang bisa kami kunjungi dengan gratis.

Kami biasa mengunjungi komplek Candi Arjuna dan Telaga Warna. Dua tempat ini adalah yang paling sering kami kunjungi. Sebenarnya dua tempat ini berbayar. Namun, di hari-hari biasa saat pengunjung sangat jarang, biasanya tak ada penjaganya. Kami bahkan bisa masuk melalui berbagai arah yang kami mau tanpa membayar karcis.

Sungai Kecil

Kami sering menjelajah sungai kecil hanya untuk... menjelajah. Ya, benar. Kami pernah menemukan air terjun kecil yang tersembunyi di tengah hutan saat menjelajah sungai.

Amin pernah tak tahan ingin buang air besar dan karena kami berada di sungai Amin yang tak tahan akhirnya berak dengan jongkok di batu besar di pinggir sungai. Dengan jiwa usil kami, terbersit ide untuk melempari air di bawah pantat Amin dengan batu-batu sebesar kepalan tangan.

Tak butuh berpikir lama, kami segera melemparinya. Air menciprat kemana-mana. Amin memaki-maki dan dengan tergesa-gesa menyelesaikan ritual pembuangan sisa-sisa makanan dari perutnya.

Gunung Lawe

Aku pernah mengunjungi Gunung Lawe saat keadaan motorku sangat memprihatinkan. Bau gosong tercium saat motorku menanjak di jalan setapak yang berkerikil di tengah hutan menuju Gunung Lawe.

Ada tempat parkir di kaki gunung, namun sebagai remaja dengan rasa penasaran tinggi dan kebodohan akut, kami lebih memilih menaiki motor kami mendaki Gunung Lawe. Ada jalan setapak yang bisa dilalui sepeda motor meskipun sulit.

Kami berlomba-lomba menunjukkan siapa yang sampai di ujung jalan tanpa menghentikan motor atau bahkan menurunkan kaki dari sepeda motor. Kami tentu saja tak bisa sampai puncak gunung dengan naik motor. Namun, kami berhasil mencapai setidaknya sepertiga bagian rute.

Kami memarkir motor kami di pinggir jalan yang penuh dengan semak-semak, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, dan sesekali beristirahat.
Aku pernah mencapai puncaknya sekali ketika ikut kegiatan Rohis sekolahku. Setelah itu aku tak pernah benar-benar mencapai puncaknya. Termasuk perjalanan kami dengan sepeda motor ini hanya berlanjut hingga setengah perjalanan saja. Kami lelah dan entah mengapa menjadi terlalu malas untuk melanjutkannya hingga puncak.

Kami berfoto dengan naik ke akar pohon yang mencuat di balik tebing. Dan, ya, hanya seperti itu. Setelah puas berfoto tentu saja kami turun gunung dengan terseok-seok. Di masa ini, asalkan gratis kami akan mengunjunginya.

Jalan Paling Rusak di Banjarnegara

Aku jadi teringat pengalamanku ke sebuah pantai di Kebumen bersama teman-temanku.

Kami lewat jalur Pagedongan yang tak begitu populer untuk menuju ke pantai-pantai di Kebumen. Tama bilang jalannya bagus. Saat kami melewatinya, ternyata itu adalah jalan paling sulit yang pernah kulalui bahkan hingga sekarang.

Ternyata yang dimaksud Tama dengan jalannya bagus adalah lima tahun lalu saat dia melewatinya untuk pergi ke Kebumen. Kami ramai-ramai mencaci makinya dan dengan kejadian itu dia mendapat gelar kehormatan: GPS bodol. Uniknya, kami sangat menikmati perjalanan itu dan bahkan berhasil sampai di salah satu pantai yang cukup terkenal di Kebumen.

Saat sampai di sana, petugas parkir segera menghentikan kami dan meminta tarif parkir lima ribu rupiah. Mendengar tarif parkir limaribu rupiah, tak pikir panjang kami tak jadi masuk ke dalam pantai dan memilih putar balik. Ya, kami benar-benar putar balik dan pulang.

Kami menempuh perjalanan melelahkan berjam-jam melalui jalur paling buruk hanya untuk putar balik dan pulang begitu saja. Bagi orang lain ini mungkin terdengar konyol dan bodoh. Dan, memang begitulah kami. Tapi, perjalanan melewati jalan paling rusak itulah yang justru menjadi penghiburan kami. Itulah wisata kami yang sesungguhnya.

Masih ada banyak sekali yang belum aku ceritakan di sini. Tapi biarlah. Kenangan tak bisa selalu hadir meskipun kamu memintanya untuk hadir.

Saat ini, hanya inilah yang mampu aku kenang. Lain kali mungkin akan lebih banyak lagi yang bisa kukenang.

Aku sadar bahwa menulis kenangan-kenangan mungkin bisa sangat berharga. Kelak saat yang kita bisa hanya mengenang dan mengenang, maka tak akan terlalu banyak kenangan yang lepas dan hilang begitu saja. Menuliskannya adalah mengawetkan kenangan itu.

Ya, begitulah yang kupikirkan. Mungkin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziah

Jumat, 14 Februari 2025 Hari ini kamu takziah di Dawuhan. Ibu dari guru bernama Eka, yang sekaligus operator RA, meninggal dunia. Ternyata suami Bu Eka adalah murid Pak Ifin dulu kala. Di depan rumah ada pohon durian yang berbuah cukup lebat. Aku heran, mengapa orang-orang seperti terkoneksi satu dengan yang lainnya. Saat orang menyebutkan satu nama, maka akan merembet ke nama-nama lain yang sama-sama dikenal. Sungguh terlalu. Setelah takziah, kamu mampir ke rumah ibumu di Pucungsari. Nanti setelah salat Jumat, kamu akan muyen ke Sikasur.  Tadi di sekolah rasanya puas saat melaksanakan pembelajaran dengan sungguh-sungguh. Materi Haji dikemas dengan sedikit permainan kelompok menjadi sedikit lebih seru dan menarik perhatian siswa. Yang biasanya ngobrol dan tak mendengarkanmu tadi lumayan mendengarkanmu. Ya, lumayan. 

Direktori Kenalan di MTs N 2 Banjarnegara

Hari ini aku mengenal beberapa orang di MTs N 2 Banjarnegara:  Ibu Anti. Guru bahasa Inggris. Penulis soal ANBK. Berasal dari Kendal. Ngekos di sekitar lokasi madrasah. Bisa bawa motor sendiri. Mudah akrab dengan orang-orang. Lulusan Unnes. Punya rencana menikah di waktu dekat ini. Berangkat ke kantor nyangking rames. Ibu Vita. Guru Bahasa Jawa. Berasal dari Talunamba, Kec. Madukara. Sebelum menjadi guru, dulu bekerja sebagai seorang perangkat desa. Lumayan bisa main gamelan. Lulusan Unnes. Sepertinya suka nyanyi.  Ibu Alta/Annisa. Guru BK. Berasal dari Susukan. Bisa nyanyi.  Ingin mengubah citra Guru BK sebagai guru yang ramah dan penuh cinta.  Ibu Sofie. Guru SKI. Berasal dari Purbalingga. Tidak bisa naik sepeda motor sendiri. Ijazahnya adalah pendidikan sejarah. Lulusan UIN Saizu Purwokerto. Bapak Wahyu. Kepala Tata Usaha MTs N 2 Banjarnegara. Tinggi dan tenang pembawaannya. Asal dari Mandiraja.  Bapak Wangit. Waka Kurikulum. Orangnya ceplas-ceplos. Asal dar...

Pesta Siaga dan Keresahan yang Kurasakan

Aku tahu bahwa maksud pelaksanaan pesta siaga bertujuan baik, yaitu sebagai sarana pembentuk karakter siswa. Namun, praktik yang kutemukan justru membuatku muak. Hal-hal yang membuat aku muak antara lain:  Pertama, di sekolah tempatku bekerja tak ada ekstrakurikuler Pramuka. Anak-anak hanya dilatih saat akan ada acara pesta siaga saja. Selain itu tak ada latihan apapun atau kegiatan apapun yang berkaitan dengan Pramuka. Serba instan. Inilah yang aku tak suka.  Kedua, fokus sekolah adalah meraih prestasi untuk mengharumkan nama sekolah. Itulah mengapa yang dipilih adalah anak-anak terbaik. Jika memang tujuan awal adalah pembentukan karakter harusnya siapapun yang ingin mengikutinya boleh-boleh saja diikutsertakan. Jika peserta yang boleh ikut dibatasi, paling tidak sekolah memfasilitasi anak-anak lain yang tak kebagian jatah dengan kegiatan lain yang juga fokus dalam pembentukan karakter.  Ketiga, latihan dilakukan saat jam pelajaran. Ini sangat mengganggu kegiatan pembela...