Aku duduk di emperan toko swalayan sambil mengetik di smartphone-ku. Sesekali aku memandang ke arah perempatan jalan tempat hilir mudik kendaraan yang sedang menembus hujan. Anak-anak SMA memakai seragam pramuka berteduh di sini, menunggu jemputan. Sesekali mereka tertawa-tawa. Aku memandang hujan yang menetes deras di permukaan aspal, sebagian membentuk genangan air di sana-sini, sebagian memercik ke wajahku. Di genangan itu, melintas bayangan orang-orang yang hendak pulang atau menuju ke suatu tempat entah di mana. Tiang listrik, pohon kersen, dan lampu lalu lintas diam seperti membeku. Hampir jam empat sore. Aku masih ingin menulis apa yang kupikirkan, tapi sepertinya aku harus pulang dulu.
Apa yang kupikirkan kala itu adalah hasil dari perjalananku menempuh pendidikan hingga lulus perguruan tinggi. Ada satu bentuk kesyukuran yang kerap merambat ke pikiran dan hatiku, yaitu rasa sukur bahwa aku mampu menikmati hal-hal kecil yang mungkin tak bisa dinikmati oleh orang lain karena memang tak dianggap sebagai kenikmatan. Aku beranggapan bahwa kemampuanku menikmati hal-hal kecil ini kuperoleh berkat pendidikanku. Memang secara formal aku tak diajari tentang hal itu. Namun, aku menemukannya pada masa-masa aku berkuliah atau mungkin setelahnya. Aku mungkin menemukannya dalam buku-buku, mungkin juga dalam karakter dan kepribadian teman-temanku, dan mungkin dari pengalaman-pengalamanku.
Aku pikir, di sekitarku banyak orang yang mematok standar kebahagiaan mereka pada hal-hal yang besar, yang sering kali jauh dari kehidupan mereka, sehingga mereka terpaksa berlari mengejarnya saat ingin bahagia. Saat aku bertemu dengan mereka, kadang aku berpikir kalau mereka tak mungkin memahamiku. Aku tahu dari cara mereka berbicara denganku dan dari apa saja yang mereka bicarakan di depanku. Tapi, aku tak ambil pusing soal itu. Hidupku adalah keputusanku. Hidupku adalah tindakanku.
Satu hal lagi yang kusyukuri adalah kemampuanku untuk tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadapku. Maksudnya, orang mau berkata apa terhadapku aku tak peduli. Aku bisa saja duduk di taman alun-alun hanya pakai kaos oblong dan sendal jepit sendirian dan tak merasa ada yang salah. Kadang aku bahkan tak peduli bahwa aku ada di dunia ini. Namun, aku senang kalau aku bisa hadir di momen saat ini, yaitu hadir di tempat dan waktu sekarang. Tak ambil pusing tentang besok dan tak menyesali masa lalu. Orang lain tentu bisa juga bersikap seperti ini. Bersikap masa bodoh namun tetap bisa bahagia.
Aku bisa menikmati hal-hal kecil, seperti mengamati percikan-percikan air hujan yang memantul di permukaan jalan; mendengarkan suara hujan rintik-rintik di samping rumah; atau sekadar mengamati kesibukan orang lain. Aku juga bisa menikmati kesibukanku di sekolah atau di rumah.
Apa yang saat ini sedang menjauh dariku mungkin adalah kebiasaanku membaca buku. Sebenarnya bukan lantaran aku tak punya uang lagi untuk membaca buku, ini lebih karena seringnya aku menghabiskan waktu untuk bermedia sosial. Kadang, tak terasa aku menghabiskan setengah jam, satu jam, bahkan berjam-jam untuk membuka media sosial seperti Facebook, Instagram, dan YouTube. Yang paling tidak kusukai adalah video-video pendek dengan tema acak. Konten seperti inilah yang justru paling banyak menyita waktuku di media sosial. Karena durasinya yang pendek dan tema yang begitu beragam, kita dengan mudah scrolling layar smartphone kita dan tahu-tahu kita sudah menghabiskan setengah jam atau bahkan lebih. Parahnya, kalau disuruh untuk mengingat apa yang tadi kamu tonton, kemungkinan besar kamu hanya akan mengingatnya sedikit saja. Konten seperti inilah yang justru paling menguras waktuku di media sosial.
Saat aku membuka Facebook, rasa-rasanya aku malah kesepian. Aku tahu teman-teman asliku ada di sana juga. Tapi itu malah membuatku merasa semakin kesepian. Aku membuka Facebook untuk membaca postingan-postingan dari orang-orang yang suka menulis, yang kuanggap pikiran-pikirannya patut disimak. Namun, aku kerap tergelincir ke konten-konten video pendek atau yang kerap disebut reel. Begitulah.
Komentar
Posting Komentar