Aku duduk di alun-alun Banjarnegara setelah pulang kerja. Sendirian. Apakah aku benar-benar sendirian? Langit kelabu di atas kepalaku. Menara masjid menjulang di kejauhan. Seperangkat gamelan ditata di belakangku. Mungkin nanti malam akan ada konser gamelan, atau mungkin latihan. Tiang bendera dan talinya. Lantai alun-alun dengan motif kotak-kotak yang melingkar. Rumput yang basah dan pepohonan dengan dedaunan hijau tua, juga dikejauhan. Seorang wanita muda duduk menanti temannya. Aku berjalan ke arahnya saat dia menolehkan wajahnya ke arahku meski bukan bermaksud melihatku tentu saja. Aku duduk di dekatnya. Kuletakkan tas punggungku yang berat yang berisi pekerjaan-pekerjaan yang juga berat, yang untungnya bisa kunikmati. Tubuhku begitu dingin hingga aku memakaikan tudung jaket ke kepalaku. Kakiku juga sama dinginnya hingga ia bersembunyi di balik tas punggungku. Aku suka menyendiri. Tapi, apakah kita bisa benar-benar sendirian? Mungkin kita tak akan pernah benar-benar bisa sendirian sebab kita terdiri atas banyak hal. Diriku yang hanya aku mungkin tidak ada. Kalau pun ada, di mana aku bisa menariknya keluar dari dalam tumpukan segala hal yang membentuk keseluruhan diriku? Kalau pun aku bisa menarik keluar diriku yang hanya aku itu dari tumpukan segala hal yang membentuk diriku, di mana aku akan meletakkannya agar ia bisa sendirian? Apakah ada tempat yang cukup sunyi agar diriku yang hanya aku itu bisa menikmati kesendiriannya? Bahkan saat seseorang mati dan ditempatkan di dalam kubur, kata orang-orang ia akan ditemani amalnya yang mewujud menjadi makhluk sesuai baik atau buruk amal orang itu. Dan suatu ketika kamu merasa sendirian, entah kapan, aku pasti pernah menemanimu. Sebab aku dengan diam-diam masih ada dalam dirimu, bersembunyi entah di bagian mana dalam dirimu.
Alun-alun Banjarnegara
Rabu, 26 Oktober 2022
Komentar
Posting Komentar