Memaknai Gelar Sarjana Pendidikan
Aku mendapat gelar sarjana pendidikan tahun 2020. Perjuanganku mendapat gelar ini tentu tak seberat PLP para pahlawan mengusir penjajah. a mendapat gelar sarjana pendidikan sebenarnya hanyalah perjuangan melawan diri sendiri. Aku menaklukkan kantukku sendiri untuk bangun pagi-pagi mengetik skripsi. Aku menaklukkan rasa sungkanku agar bisa berwawancara dengan sumber-sumber dataku. Aku menaklukkan rasa lelahku untuk bisa pulang pergi Banjarnegara-Semarang. Aku menaklukkan rasa malasku yang suka menunda-nunda. Setiap orang sebenarnya sama saja dalam hal menaklukkan dirinya sendiri. Dan, aku berbangga dengan perjuanganku ini.
Sudah empat tahun sejak aku dinyatakan menjadi sarjana pendidikan. Sekarang aku mempertanyakan lagi bagaimana caraku memaknai gelar sarjana pendidikan ini. Apakah gelar sarjanaku memberi pengaruh terhadap tindakan-tindakanku, sikap-sikapku, dan keputusan-keputusanku? Atau, apakah gelar sarjanaku hanya sebuah gelar yang tertulis di selembar kertas ijazah yang hanya berguna sebagai syarat melamar kerja?
Salah satu pemaknaan gelar sarjana adalah dengan bekerja. Yang kumaksud bekerja tentu saja bekerja sesuai dengan gelar sarjana yang kita miliki. Sarjana pendidikan bekerja di bidang pendidikan, menjadi seorang guru. Menjadi seorang guru bagi sarjana pendidikan berarti mendayagunakan keilmuannya semaksimal mungkin untuk mencerdaskan kehidupan generasi berikutnya. Guru yang asal mengajar berarti tidak benar-benar memaknai gelar sarjana pendidikan yang ia miliki. Gelar itu hanya dia gunakan ketika melamar menjadi seorang guru. Guru yang baik adalah guru yang mengajar, mendidik, melatih, membimbing, memotivasi, dan menginspirasi anak didik sebaik-baiknya.
Guru yang baik senantiasa memaknai gelar sarjana pendidikannya dengan pengembangan diri. Ia sadar akan tanggung jawabnya untuk terus belajar, untuk terus mendidik diri sendiri. Guru yang baik harus memiliki kompetensi pembelajar sepanjang hayat. Ia tahu bahwa jika ia berhenti belajar, maka cepat atau lambat mungkin ia tidak akan relevan lagi untuk anak didiknya. Ia hanya akan menjadi salah satu rutinitas tanpa makna yang lewat saban hari dalam kehidupan anak didiknya. Ia hanya akan menjadi pembuang waktu anak didiknya dan pada akhirnya ia akan terlupakan.
Pengembangan diri sebenarnya tidak terbatas. Apalagi di era sekarang. Kita bisa mempelajari apa saja yang kita mau. Namun, kita sendirilah yang kerap membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk terus berkembang. Seorang sarjana pendidikan harus mampu menyingkirkan batas-batas yang membelenggunya untuk berkembang, batas-batas yang kerap kali berasal dari dirinya, teman, keluarga, hingga lingkungannya. Ia harus mampu menantang dirinya sendiri untuk terus merasa haus akan ilmu pengetahuan dan rahasia-rahasia kehidupan dunia ini.
Memaknai gelar sarjana pendidikan juga bisa dilakukan dengan mendidik keluarga. Rasanya sangat tidak pantas jika seorang sarjana pendidikan tak mampu mendidik keluarganya sendiri, sedangkan setiap hari ia mencoba mendidik orang lain. Paling tidak, seorang sarjana pendidikan harus menjadi teladan dalam keluarganya. Ia harus mampu memberikan contoh-contoh nyata tindakan yang bermoral. Ia harus menjadi pegangan yang kuat agar setiap anggota di kapalnya tidak terombang-ambing dalam kehidupan yang makin hari makin tak menentu.
Ia adalah jangkar sekaligus kemudi kapal. Ia harus tahu kapan berlayar dengan kecepatan penuh, ia harus tahu waktu yang tepat untuk berlayar mengandalkan kecepatan angin, dan ia harus tahu kapan waktunya untuk menurunkan jangkar. Hidup tak harus selalu berlari kencang, sebab ada hal-hal yang hanya bisa kita nikmati saat kita melaju perlahan, bahkan ada hal-hal yang hanya bisa kita nikmati saat kita berhenti.
Komentar
Posting Komentar