Jumat, 21 Februari 2025; 23.56 | Sikasur
Setiap kali aku membuka media sosial, entah mengapa ada secuil kepercayaanku yang hilang terhadap Indonesia. Mungkin bukan hanya aku, kalian juga merasakannya. Bagaimana tidak, setiap kali membuka medsos, yang pertama terpampang adalah berita mengenai para pemimpin negeri yang membuat kebijakan sesuka hati tanpa memikirkan rakyatnya. Tagar Indonesia gelap mulai merebak di mana-mana. Mahasiswa turun ke jalan. Media sosial menjadi ajang perang antara buzzer dan pembela rakyat. Tagar kabur aja dulu juga ramai di kalangan para pemuda.
Menurut mereka, hidup di negeri asing lebih menjanjikan dari pada di Indonesia sehingga lebih baik pergi merantau mencari penghasilan di negeri asing. Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Tapi, bukankah dari dulu memang seperti ini? Bukankah para pemimpin kita memang dari dulu adalah orang-orang yang tamak dan haus kekuasaan, harta, dan jabatan? Apakah aku harus memperhatikan hal ini? Terkadang aku bertanya-tanya, apakah sebenarnya aku adalah orang yang apatis sehingga merasa tak perlu ikut campur karena pada akhirnya semua itu benar-benar tak penting. Atau, aku hanya tak punya keberanian, waktu dan kesempatan? Rasanya benar-benar menjengkelkan.
Suatu pikiran jahat muncul di kepalaku, yang untunglah itu hanya khayalan saja. Aku berkhayal tiba-tiba mendapat kekuatan supranatural yang memungkinkanku mengetahui siapa saja pemimpin-pemimpin yang menyengsarakan rakyat dengan tindakan korupsi. Aku menghukum mereka satu persatu. Kusiarkan kepada semua orang bahwa hukuman bagi mereka yang korupsi akan langsung dibayar tunai saat di dunia. Tidak usah menunggu akhirat karena mereka mungkin sudah tak meyakininya. Suatu khayalan yang gila. Ini membuatku sadar bahwa aku tak tahu apapun tentang dunia ini. Siapa yang korupsi, berapa banyak, apakah dilakukan sendiri atau berjamaah, dan apakah ada dukungan dari pihak lain, dan masih banyak lagi. Ini baru soal korupsi.
Padahal masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang sering mengganjal pikiranku, yang tak kuketahui jawabannya dan tak pernah aku coba mencari tahu jawabannya. Aku hanya bertanya-tanya dan bertanya-tanya. Apakah kamu merasa bosan? Seperti aku? Ya, ada hal-hal yang bisa kunikmati, tapi entah mengapa aku merasa bosan. Entahlah, mungkin bosan hidup. Bukan, bukan bosan hidup. Aku hanya tak tahu apa yang ingin kucapai. Atau mungkin, semakin dewasa, kita tak lagi ingin mencapai apapun. Rasanya, saat ini aku sedang berada di kondisi tak ingin mencapai apapun. Pada akhirnya semua ini tak penting. Mungkinkah aku hanya mengelak dari kenyataan bahwa memang aku tak akan mencapai apapun karena ketidakmampuanku bukan karena aku ingin.
Buat para mahasiswa, terima kasih telah memperjuangkan apa yang menurut kalian patut diperjuangkan. Mengamati. Kesunyian malam. Dinding putih cahaya lampu. Momen yang kutangkap dalam ingatan adalah anakku yang menangis karena kumarahi saat dia menjambak rambutku kuat-kuat. Kalau dipikir-pikir dialah satu-satunya yang paling bisa menghiburku. Dialah pengharapanku. Tapi, aku kerap mengabaikannya. Harusnya, dialah yang paling berhak kuperhatikan. Bukan siapapun bukan apapun. Dialah masa depan. Sepertinya, aku memang sudah menjadi masa lalu. Sempat terpikir olehku untuk menghapus akun media sosialku. Buat apa kupelihara jika setiap hari muncul berita-berita yang tidak menggembirakan. Bukankah kita mencari kegembiraan?
Komentar
Posting Komentar