Pagi pukul 06.45 aku sampai di madrasah. Kulihat beberapa siswa kelas 2 sedang mengeluarkan buku-buku paket dari kelas mereka. Mereka ditemani Bu Japar, seorang petugas kebersihan madrasah. Aku lihat buku-buku itu tidak basah sehingga membuatku bertanya-tanya mengapa buku-buku itu dikeluarkan dari rak kelas mereka. Biasanya, buku-buku itu dikeluarkan dari kelas dan dijemur jika kena air hujan. Maklum, beberapa ruang kelas sering bocor jika hujan terlalu deras. Tapi, tadi malam tidak hujan. Lantas mengapa buku-buku itu dikeluarkan?
Dari dekat tercium bau semut yang terasa pedas di hidung. Rupanya, buku-buku paket milik kelas 2 telah menjadi sarang semut. Telur mereka sangat banyak dan berwarna putih. Mengapa sampai menjadi sarang semut? Karena madrasah kami dekat dengan kebun salak dan di kebun itu juga ada pohon kelapa yang biasanya menjadi sarang semut. Pelepah salak maupun pelepah kelapa sering menjulur hingga menyentuh tembok kelas sehingga semut-semut kerap marambat masuk kelas kami. Tapi, hal itu bukan satu-satunya faktor. Faktor lain mengapa buku-buku itu sampai menjadi sarang semut adalah karena buku-buku itu tak pernah dipakai lagi.
Saat aku melihat-lihat buku yang dikeluarkan anak-anak kelas dua, sebagian besar masih layak untuk dipakai. Sampulnya masih mengkilap dan masih utuh. Ada beberapa buku yang sampulnya sudah hilang. Namun, isinya tentu masih layak dibaca. Pertanyaanku saat itu, buku sebanyak ini, dengan kondisi yang masih layak pakai, kenapa tak digunakan? Jawabannya adalah karena sudah ada buku yang lebih baru, yang "sesuai" dengan kurikulum terbaru.
Lihatlah buku-buku ini.
Buku sebanyak ini tak pernah digunakan lagi. Padahal kualitas fisik dan isinya masih layak menurutku. Ini belum semuanya, lihatlah buku yang lain ini.
Buku-buku ini tak lagi dipakai sebab tak lagi cocok dengan kurikulum terbaru. Padahal, kalau menurutku pribadi materi-materi di dalamnya bisa dibilang sama saja. Entahlah mengapa harus berganti buku paket lagi. Sebagai bendahara BOS aku tahu harga buku paket tidaklah murah. Satu paket lengkap kelas 5 misalnya, yang terdiri atas sekitar 14 - 15 buku paket total harganya bisa mencapai satu setengah juta. Ini baru satu kelas, padahal di SD/MI minimal ada enam kelas. Artinya, jika masing-masing kelas membeli satu paket, maka kurang lebih total biaya pembelian buku paket mencapai 9 juta rupiah. Ini baru satu paket saja, artinya satu eksemplar untuk satu mata pelajaran saja. Bagaimana jika tiap siswa harus dibelikan buki paket? Ya, tentu akan memakan banyak sekali dana BOS.
Selama menjadi bendahara BOS, terhitung sudah empat kali aku menganggarkan pembelian buku paket atas dorongan kepala sekolah. Namun, kami hanya membeli satu paket untuk setiap kelas. Artinya, buku paket hanya dibeli untuk guru saja. Itu pun cukup memberatkan sebenarnya. Pasalnya, dana BOS juga digunakan untuk membayar gaji guru honorer yang mana madrasah tempatku mengajar punya sembilan guru honorer, belum lagi untuk biaya kegiatan di madrasahku yang juga cukup banyak.
Rasanya aku sangat kewalahan menjadi bendahara BOS. Aku hanya lulusan jurusan pendidikan bahasa Indonesia tapi harus putar otak supaya dana BOS bisa mencukupi seluruh kegiatan di sekolah dan berbagai macam penganggaran untuk fasilitas sekolah. Aku sama sekali tak tahu ilmu pengelolaan keuangan.
Kembali ke masalah pembelian buku paket. Menurutku, pembelian buku paket adalah pemborosan yang nyata dan ajang bisnis kapitalis. Bukannya aku membenci buku, bukan seperti itu. Tapi, aku menilai pembelian buku paket benar-benar sia-sia. Aku melihat buku-buku paket yang telah kami beli tergeletak begitu saja di bawah meja guru, berdebu, dan tak tersentuh. Bapak/Ibu guru di madrasahku lebih sering menggunakan LKS dari pada buku paket. Ya, tak lain karena semua siswa memiliki LKS dan ini memudahkan guru. Maka, menurut penilaianku, pembelian buku paket di madrasahku sangatlah tidak berguna. Aku tak tahu di sekolah lain seperti apa. Mungkin akan beda cerita jika kami membeli buku paket sejumlah siswa. Tapi, itu terlalu mahal dan dalam beberapa tahun ke depan tak akan terpakai jika kurikulum berganti lagi. Seperti buku-buku di kelas dua yang menjadi sarang semut itu.
Aku pernah mengusulkan untuk tak perlu membeli buku paket karena pada kenyataannya tak pernah digunakan. Jika mau membeli buku, masih lebih baik membeli buku-buku cerita seperti novel, komik, buku motivasi, ensiklopedia, dan macam-macam buku bacaan lainnya. Buku-buku seperti ini tak akan terpengaruh kurikulum. Maksudku, biarpun kurikulumnya berganti, buku-buku ini masih bisa kita pajang di perpustakaan sekolah dan lebih bermanfaat karena siswa lebih suka membaca buku-buku seperti ini dari pada buki paket. Namun, penganggaran untuk pembelian buku-buku semacam ini amat kecil dan tak terlalu dianggap penting.
Sebentar lagi, kurikulum merdeka mungkin akan berganti menjadi kurikulum deep learning yang artinya kami harus membeli buku paket lagi. Penawaran buku paket akan datang lagi. Ya, dalam surat memang tertulis penawaran. Namun, saat aku tak kunjung mengisi surat pemesanan, biasanya akan dikejar-kejar terus entah itu oleh kepala madrasah atau pihak yang menawarkan buku paket itu. Belum lagi guru-guru lain dari sekolah lain. Memang tak secara terus terang mengatakan wajib beli buku paket. Namun, secara psikologis sekolah-sekolah seperti dipaksa membelinya.
Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan pembelian buku paket semacam ini jika memang benar-benar digunakan baik oleh guru maupun siswa. Meskipun mahal asal benar-benar digunakan bagiku tak masalah. Lagi pula, ini uang negara bukan uangku. Mahal pun tak masalah asal memberikan kemanfaatan. Aku sebagai bendahara BOS rasanya terbebani dengan hal ini. Aku tahu buku paket tak digunakan, tapi masih saja membelinya. Bukankah ini termasuk menyia-nyiakan uang rakyat? Tapi, bagaimana cara menolaknya?
Aku sudah berkali-kali mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai bendahara BOS, tapi tentu saja selalu ditolak.
Entahlah. Semoga aku diampuni kelak.
Senin, 24 Februari 2025
Komentar
Posting Komentar