Anakmu belum juga lahir sampai hari ini. Hari ini adalah HPL terakhir yang disampaikan dokter. Tapi, anakmu belum juga lahir. Pertanyaan yang sebenarnya adalah, apakah kamu sudah benar-benar siap menjadi seorang ayah? Apa yang sudah kamu persiapkan? Sesungguhnya seseorang tak mungkin benar-benar siap menjadi seorang ayah sebanyak apapun yang telah dia persiapkan. Menjadi seorang ayah kukira adalah sebuah proses panjang yang tak bisa disiapkan seperti kita menyiapkan bahan-bahan untuk memasak nasi goreng. Anakmu akan punya pemikirannya sendiri dan dia juga akan berproses menjadi dirinya sendiri. Dalam proses itulah kamu berperan mendampinginya. Kamu berperan membimbingnya menemukan rumahnya sendiri. Rumah adalah tempat dan waktu yang bersekutu membuatmu mampu menjadi diri sendiri, merasa nyaman dengan apa adanya dirimu. Bagaimana kamu menyediakan rumah yang seperti itu untuk anakmu? Istrimu saat ini tentu saja sangat khawatir. Sampai saat ini bayi dalam kandungannya belum juga keluar. Dia benar-benar cemas. Orang-orang terus menanyainya apakah ia sudah melahirkan atau belum. Orang-orang terus bertanya tentang HPL. Kukira aku pernah bilang padanya untuk tidak merisaukan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Tapi, hal itu sulit baginya. Aku sudah pernah bilang untuk tidak memedulikan omongan orang yang hanya membuatnya khawatir. Tapi, mau bagaimanapun sepertinya itu susah untuknya. Orangorang sibuk dengan urusannya masing-masing. Di sini, di hidupku, akulah pemain utamanya. Aku menyaksikan orang-orang sibuk dengan urusan mereka dan itu mungkintak ada kaitannya denganku, sebab di hidup mereka, merekalah pemain utamanya. Maka setiap orang adalah pemain utama dalam hidupnya sendiri. Namun lantas aku bertanya, jika demikian maka apakah hal-hal di dunia ini berdiri sendiri dan tak saling terkait? Apakah yang kulakukan sekarang, duduk sambil menulis adalah hal penting yang signifikan? Apakah yang orang-orang lakukan di pasar memengaruhi alam semesta ini? Aku terkadang membayangkan, menjadi seorang yang begitu besar seperti raksasa dan memandang ke bawah ke kerumunan manusia. Pasti mereka terlihat seperti semut. Pohon-pohon albasia yang meliuk-liuk dengan batangnya yang kurus terlihat seperti jamur. Bagaiamana dengan rumah-rumah manuasia? Itu mungkin terlihat seperti jamur juga. Sebenarnya alangkah kecilnya manusia. Seperti debu. Tidak signifikan dan mungkin tidak penting untuk alam semesta ini. Dengan atau tanpa kita mungkin akan tetap sebagaimana adanya. Tapi, jika tak ada manusia, siapa yang akan mengagumi keluasan alam semesta ini? Merenungkan tentang semua ini membuatku merasa betapa sia-sia meributkan atau mencemaskan hal-hal yang terjadi, apapun itu. Apakah mungkin aku terjebak dalam apatisme atau nihilisme? Entahlah. Yang jelas, semakin aku merenungkan ini semua, semakin aku suka menikmati hal-hal yang sederhana dan tak muluk-muluk. Mungkin akan tiba saatnya nanti, ketika aku bisa menikmati bahkan hanya diriku saja. Tak perlu apa-apa lagi. Apakah itu yang dirasakan para wali? Apakah itu kesyukuran yang sejati. Bersyukur tanpa ada prasyarat.
Hujan turun dan burung dara berteduh di topi jendela. Syahdu. Jalanan basah. Seorang nenek tua berjalan tak peduli bajunya basah. Tanaman stroberi tak jadi mati. Hujan menyiraminya hingga basah. Burung dalam sangkar. Burung dalam sangkar bergerak naik turun dan berkicau tak henti-henti. Ayam hitam ibu dan anak. Ketiganya hitam. Seorang anak berlari terburu-buru menghindari hujan. Hujan dan hujan.
Komentar
Posting Komentar