Seorang tani berhenti di tikungan, tepatnya di depan toko kelontong Mustamil. Di bagian belakang sepeda motornya terdapat setumpuk rumput segar hasil ngarit. Dua botol plastik wadah air telah kosong tergantung di cantelan stangnya. Dia memakai topi kelabu. Kemeja lusuhnya basah oleh keringatnya. Dia parkirkan motornya hati-hati agar beban rumput tidak membuat motornya roboh. Dia masuk toko kelontong namun seperti ragu-ragu. Mungkin karena takut mengotori lantai toko itu sebab dia tidak pakai alas kaki. Tak lama kemudian dia keluar sambil membawa dua bantal beras yang kemudian dia letakkan di bagian depan motornya dekat botol plastik wadah air yang telah kosong.
Saat melihat orang tani itu, kamu berpikir tentang kesederhanaan. Apakah dia memikirkan banyak hal sebagaimana kamu? Apakah dia memedulikan banyak hal sebagaimana kamu?
Dahulu kamu pernah menjadi tukang ngarit. Tak banyak hal kamu pikirkan seperti sekarang ini. Hidupmu hanya mengalir seperti air di sungai. Tak ada rencana kamu buat. Hanya ada pengharapan bahwa kelak akan lebih baik. Kamu pergi ke kebun orang-orang desa yang banyak ditumbuhi rumput gulma dan ngarit di sana untuk kambing-kambingmu. Bau rumput segar yang terpotong dan terkena panas matahari setiap hari kamu hirup. Terkadang tubuhmu gatal-gatal kena ulat bulu. Itu biasa. Dan, kehidupan memang biasa-biasa saja.
Saat masih menjadi tukang ngarit dan kuli di kebun salak, badanmu bisa lelah luar biasa setelah bekerja. Namun, kamu tak pernah ambil pusing. Cukup dengan tidur nyenyak semalaman dan rasa lelah itu akan hilang di pagi hari saat kamu bangun. Setiap hari kamu melakukan aktivitas yang sama. Begitu sederhana. Mungkin kamu mengalami kebosanan saat menjalaninya. Namun, semuanya benar-benar sederhana dan tanpa beban. Bagaimana rasa bosanmu saat menjadi kuli? Ah, sekarang aku tak berniat membahasnya. Dan barangkali memang kamu tak mengingatnya.
Apa yang membuat orang-orang tani itu tampak menarik dan berbahagia mungkin adalah kemerdekaan mereka. Ya, mereka bekerja untuk diri mereka sendiri. Bukan untuk orang lain. Pekerjaan mereka mungkin lebih berat dari orang lain. Tapi, mereka mengerjakannya bukan karena disuruh. Barangkali di situlah perbedaannya. Tukang ngarit itu memelihara kambing atau sapinya untuk mereka sendiri. Tak ada yang memaksanya memelihara ternak. Tak ada yang memaksa mereka menanam padi atau membajak sawah. Barangkali di situlah perbedaannya.
Kamu selalu ingin hidup dengan sederhana. Mungkin karena itulah kamu selalu senang dan tertarik melihat orang-orang yang dengan merdeka pergi ke kebun mereka. Makan di ladang dengan makanan sederhana namun terasa sangat nikmat. Mereka tak butuh makanan-makanan mewah untuk berbahagia. Mereka hanya butuh rasa lapar dan makanan seadanya. Itu sudah mampu membuat mereka berbahagia. Ya, alangkah sederhananya hidup seperti itu.
Namun, bukankah hidup sederhana tak harus ditempuh dengan menjadi petani?
Ya, kamu benar sobat. Saat ini pun kamu bisa saja hidup dengan sederhana. Kamu bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Kamu harus berlatih bersyukur atas semua nikmat yang kamu rasakan. Mungkin kuncinya memang bersyukur. Ya, bersyukur. Bersyukurlah karena kamu masih bisa melihat-lihat hijaunya pepohonan. Bersyukurlah karena kamu masih bisa mengagumi bahkan hanya pohon sirsak di tepi jalan yang berbuah tak begitu lebat. Bersyukurlah karena kamu masih bisa memperhatikan laku orang-orang. Ah, mungkin kamu terlalu terpengaruh "Rumah Mati di Siberia" sehingga kamu jadi senang mengamat-amati orang. Tapi, biarlah. Biarkan kebahagiaanmu tetap dengan syarat yang sederhana. Bahkan jika mungkin hilangkan saja syarat-syarat untuk bisa bahagia. Cukup berbahagialah dan bersyukurlah. Dengan begitu mungkin kamu akan tetap menjadi manusia yang sederhana.
Namun, bukankah sesederhananya manusia mereka tetaplah sesuatu yang sangat kompleks? Jadi, benarkah seorang tani adalah manusia yang sederhana? Dan, apa sebenarnya yang kamu maksud dengan "menjadi manusia yang sederhana"?
Komentar
Posting Komentar