Hari ini hari terakhir saya menjadi pengawas ujian di salah satu sekolah di Banjarnegara. Ini adalah catatan saya tentang para pesertanya, yang tak lain adalah para siswa di sana. Saya mencoba mengamati mereka dan menyimpulkan karakter siswa-siswa itu. Saya tidak mengamati semuanya. Hanya beberapa anak yang menurut saya menarik perhatian.
Pertama, Ibrahim, siswa laki-laki yang terlihat seperti pengidap autis meskipun tak terlalu kentara. Saya menduga dia mengerjakan soal ujian sambil sesekali main game di ponsel pintarnya. Saya memang tak memiliki bukti sebab tak mampu memantaunya secara terus menerus. Saya bisa saja berdiri di belakangnya sampai ujian selesai. Tapi jika demikian, tentu saja dia tidak akan main game. Saya menyimpulkan demikian karena dia sering sekali memiringkan ponsel pintarnya seperti posisi saat digunakan untuk bermain game. Teman di sebelahnya, Ibnu, sering mengingatkannya untuk mengerjakan soal. Dia tentu tahu jika Ibrahim sedang main game.
Ibrahim tipe siswa yang tidak peduli dengan hasil ujiannya. Dia pernah dapat nilai 28 dari 100 dan masih santai seperti tak terjadi sesuatu. Bahkan dia dengan suara keras dan tertawa-tawa memberitahukan nilai 28 itu kepada teman-temannya. Dia mungkin tak memeriksa jawabannya atau bahkan mungkin tak membaca soal ujiannya. Selain tak peduli dengan nilai ujian, Ibrahim juga tampak tak terlalu peduli jika dirinya dijadikan bahan tertawaan teman-temannya. Dia seperti punya dunia sendiri yang tak semua orang bisa memasukinya.
Tipe siswa seperti Ibrahim (Baim) juga saya temukan di sekolah tempat saya mengajar. Sebut saja Azka. Dia selalu menjadi yang pertama selesai mengerjakan soal-soal ujian. Bukan karena dia memang hebat dalam mengerjakan soal, melainkan karena dia ingin segera keluar ruangan untuk jajan atau bermain.
Baim sering menggoda teman-temannya dengan memantulkan cahaya matahari menggunakan bagian belakang ponsel pintarnya ke wajah teman-temannya. Kalau saya biarkan, satu ruangan bisa kena semua. Saya cukup menegurnya sekali dan dia akan berhenti melakukannya, tersenyum nyengir kuda, lantas menunduk, kembali tenggelam ke ponsel pintarnya. Selain Baim, Arsyaf juga kerap melakukannya. Pada pagi hari, sisi timur ruangan memang dibanjiri cahaya matahari. Anak-anak yang duduk di sana memantulkan cahaya itu dengan berbagai benda seperti permukaan jam tangan atau penggaris besi maupun plastik.
Kedua, Bilqis. Siswa perempuan ini punya suara yang berat dan tegas, hampir mirip suara laki-laki. Jika kamu pernah mendengarnya sekali saja, kamu tidak akan kesulitan membedakannya dari suara anak gadis lain yang seusia dengan dia yang biasanya tinggi melengking-lengking. Pembawaannya cukup tenang. Dia mengerjakan soal dengan meletakkan ponsel pintarnya di meja. Tangan kirinya sering dia pakai untuk menopang dagunya sedangkan yang kanan dia gunakan untuk mengerjakan soal. Dia memakai gelang di pergelangan tangan kiri yang membuatnya terlihat manis saat menopang dagunya.
Kegemaran saya mengamat-amati orang mungkin telah membuatnya tidak nyaman. Saya maklum karena dia perempuan. Apalagi untuk anak seusianya yang sedang menuju masa remaja yang pastinya mulai menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis. Maka ketika dia tahu saya sedang mengamatinya, mungkin dia risih sebagai seorang perempuan.
Secara fisik dia tampak lebih dewasa dari anak-anak lain seusianya. Ini terlihat benar dari wajahnya yang sepertinya telah ditumbuhi jerawat, payudaranya yang tampak mulai membesar, dan pinggulnya yang juga tampak berisi; suatu tanda perubahan yang khas dari anak-anak perempuan. Saya tidak akan heran jika ternyata dia sudah pernah menstruasi. Saya bahkan pernah mendapati siswa kelas 3 SD sudah pernah mengalami menstruasi. Ini sebuah fenomena yang menarik dan barangkali terjadi di mana-mana. Sebuah fenomena anak-anak tumbuh dewasa terlalu cepat.
Saya sering mengecek kelas saat jam solat duhur di madrasah dan mendapati siswa perempuan kelas 3, 4, 5, dan 6 tidak ikut solat berjamaah. Saat saya tanya mengapa, mereka bilang sedang haid. Tentu saja saya biarkan mereka. Awalnya saya memang ragu dengan alasan mereka, namun saat saya konfirmasi ke wali kelas masing-masing, ternyata wali kelas mereka membenarkannya. Pola makan atau diet dan aktivitas mereka mungkin menyebabkan mereka tumbuh dewasa lebih cepat dari yang semestinya.
Ketiga, Armila. Dia adalah tipe siswa perempuan yang ringkih dan lemah secara fisik. Perawakannya kecil dan kurus. Dia tak banyak bicara, ulet, pemalu, dan ragu-ragu. Saking sedikitnya dia bicara, saya nyaris menganggapnya bisu, sebelum akhirnya dia mendekati saya dan bilang bahwa dia tak bisa login aplikasi e-learning. Dia sering sekali belum selesai mengerjakan soal ketika teman-temannya sudah keluar ruangan. Sekilas saya menangkap kepanikan di wajahnya saat teman-temannya selesai mengerjakan soal dan keluar ruang ujian, sementara dia masih harus mengerjakan beberapa soal yang sebenarnya tak begitu banyak. Saya lantas memberi tahu dia bahwa waktu untuk mengerjakan soal ujian masih banyak.
Saat mengerjakan soal, dia akan meletakkan ponsel pintarnya di meja. Kedua tangannya akan menekuk di depan dadanya seperti seekor anjing yang sedang berdiri menyambut majikannya. Kepalanya menunduk dekat sekali dengan ponsel pintarnya sehingga membuat badannya terlihat lebih bungkuk dari yang sesungguhnya.
Dia tetap masuk ujian meskipun sedang sakit. Bibirnya pucat dan suaranya semakin hilang seolah ditelan bibir pucatnya itu. Saat kondisinya memburuk temannyalah yang memberi tahu saya. Saya menghampirinya dan menawarkan dia untuk pulang saja. Dia setuju. Dia berjalan di belakang saya hendak menuju ke halaman sekolah untuk menunggu dijemput ibunya. Namun, baru melewati pintu ruang ujian, badannya ambruk menubruk punggung saya. Dia pingsan. Saya memanggil teman-temannya dan dibantu seorang guru memapahnya ke kantor. Di sana, saya baringkan dia di kursi kayu panjang. Guru-gurunya segera berupaya menyadarkannya dengan mengoleskan minyak kayu putih di sekitar hidungnya. Tak lama kemudian dia sadar dan ibunya menjemputnya.
Di hari berikutnya dia tidak mengikuti ujian di ruang ujian. Dia mengikuti ujian di kantor guru dengan diawasi Ibu Umu dan didampingi ibunya.
Dia tipe siswa yang pemalu sehingga saya tidak melihatnya menanyakan nilai temannya setelah selesai ujian. Siswa di sini biasanya menanyakan nilai temannya setelah selesai ujian. Mereka saling memperlihatkan nilai masing-masing. Pamer nilai masing-masing. Sebenarnya, saya tahu dia penasaran dengan nilai temannya. Buktinya, saat salah satu temannya bilang dapat nilai delapanpuluh, seketika dia berpaling dengan wajah seolah tak percaya.
Secara umum, saya dapat mengategorikan siswa-siswa yang saya awasi menjadi empat kategori. Pertama, siswa yang tak peduli dengan nilainya. Siswa-siswa semacam ini tentu enggan belajar dan mengerjakan soal secepat mungkin. Kedua, siswa yang peduli dengan nilainya namun tak terlalu risau dengan hasil yang mereka peroleh. Ketiga, siswa yang punya rival pribadi. Mereka hanya peduli dengan nilainya dan nilai rivalnya. Asalkan nilainya lebih tinggi dari rivalnya, mereka akan merasa sudah cukup. Keempat, siswa yang sangat peduli dengan nilainya dan mengincar nilai sempurna. Bagi siswa seperti ini, nilai 92/100 adalah nilai yang jelek.
Nah, inilah hasil pengamatan saya.
Komentar
Posting Komentar