Rabu, 27 Desember 2023, 13.59
Sandal yang dibeli istriku dua hari yang lalu terlalu kecil untuk Nabil. Kami menukarnya di toko perlengkapan bayi dan anak-anak. Jaraknya sekitar 200 meter dari pasar kota. Biasanya, kalau aku mengantar istriku belanja di sini, aku menunggu di luar toko, duduk di serambi toko sambil main HP. Tapi kali ini cuaca panas sekali. Belum sampai satu menit keringatku mulai bercucuran. Dari pada menunggu di luar dengan cuaca sepanas ini, aku memutuskan untuk masuk toko dan menunggu di dalamnya. Aku duduk di lantai di bawah kipas angin yang sejuk. Istriku memilih baju tapi tak membelinya. Begitulah biasanya perempuan. Tujuan kami memang bukan untuk membeli baju melainkan hanya menukarkan sandal yang kekecilan saja.
Setelah dari toko perlengkapan bayi dan anak-anak, kami pergi ke timur pasar kota untuk membeli lemak sapi. Kami orang-orang Banjarnegara menyebutnya gajih. Bapak mertuaku berjualan siomay dari tepung kanji yang di dalamnya diberi lemak sapi. Kami yang biasa membelinya.
Jalanan di sekitar pasar ramai sekali. Menurutku, ini membuat suhu udara semakin panas. Tapi, menurut istriku, suhu udara yang panas disebabkan oleh jalan di sekitar pasar yang belum lama ini diganti dengan aspal yang baru. Mungkin saja benar karena benda hitam menyerap panas lebih baik dari benda lainnya.
Tukang becak duduk dalam becaknya. Sepeda motor merayap bersama mobil. Juru parkir tak punya waktu untuk sekadar duduk. Para pedagang sibuk menawarkan dagangannya. Orang-orang datang dan pergi. Seperti kehidupan ini. Tak ada yang benar-benar menetap.
Jalan-jalan di sekitar pasar kota ini sudah beraspal semuanya. Hanya saja, kota kecil kami ini cukup sibuk sehingga jalan yang lebar ini terasa sesak, ditambah dengan udara panas yang berembus membuat kenyamanan berkendara sedikit terganggu. Dulu ada banyak pohon ketapang tumbuh lebat menaungi jalan sehingga jika cuaca sedang panas begini, mereka bisa jadi naungan untuk orang-orang. Pemerintah menebang habis pohon-pohon itu saat merenovasi pasar yang habis karena kebakaran.
Kami pulang lewat jalan yang berbeda saat berangkat. Kami lewat jalan kampung yang lebarnya hanya dua meter saja. Jalannya berlubang di sana-sini dengan aspal yang sudah terkelupas dan kerikil yang berserakan di mana-mana. Setiap 20 meter kami menemukan polisi tidur. Ini hal yang memang kerap ditemui di jalan-jalan dalam kampung. Di kanan dan kiri jalan berjejer rumah warga atau lahan kosong yang ditanami pohon pisang.
Aku mengendarai motorku pelan-pelan sambil menikmati sensasi yang ditimbulkan dari jalanan yang berlubang dan roda motorku yang terlalu keras. Keluar dari jalan ini kami melalui jalan di pinggir irigasi yang lebarnya sekitar empat meter. Air yang mengalir searah dengan kami terlihat hijau dan tidak keruh. Anak-anak bermain di irigasi, melompat dari jembatan, mencipratkan air, dan berenang kesana kemari.
Aku suka melewati jalan ini sambil memandang aliran air yang pelan dan tenang karena seperti mengingatkanku untuk pelan-pelan saja menjalani hidup yang penting ada kemajuan yang didapat. Selain itu, aku juga memang senang memandangi air di irigasi yang memantulkan bayangan rumah-rumah, pohon-pohon, tiang listrik, jembatan kecil, dan matahari sore yang kemerah-merahan. Dengan memandangi air yang tenang ini, aku juga kerap membayangkan kota-kota di eropa dengan kanal-kanal terkenal mereka. Satu pertanyaan muncul dalam benakku, apakah ada banyak ikan di dalam saluran irigasi ini. Pertanyaan yang segera menemukan jawaban bahwa kemungkinan besar tidak ada, mengingat masyarakat kita (jawa) suka mengambil sumber daya sungai dengan cara yang salah. Kalau di saluran irigasi ini banyak ikannya, tentu tak akan bertahan lama karena akan segera disetrum oleh orang-orang dan tak sempat berkembang biak.
Komentar
Posting Komentar