Inferiority yang Kita Miliki
Ternyata, menurut Ki Hajar Dewantara bangsa kita punya rasa rendah diri. Aku baca di buku yang memuat pemikiran-pemikiran Ki Hajar. Di sana tertulis pendapat Ki Hajar bahwa kala itu ia dan para pendiri Taman Siswa menggagas sebuah pendidikan yang berakar dari kebudayaan bangsa Indonesia dan harus berani meninggalkan cara-cara barat dalam menyelenggarakan pendidikan. Gagasan tersebut ternyata mendapat banyak penolakan dari bangsanya sendiri. Bahkan, gagasannya tersebut dianggap sebuah kemunduran sepuluh tahun dari jamannya. Bangsa kita tidak percaya dengan apa yang mereka miliki sehingga masih terlalu terpaku dengan cara-cara dari bangsa barat.
Kalau kita tinjau dunia pendidikan kita hari ini, apakah menurutmu kita masih saja bermental inferior? Ya, jawabku. Kita terlalu silau dengan metode-metode pendidikan dari negara barat, sebut saja Finlandia. Kita atau barangkali lebih tepatnya pemerintah berusaha mati-matian mengadopsi gaya pendidikan Finlandia. Meski banyak kritik di sana-sini, terebas saja.
Bau Sampah yang Sangat Busuk
Aku mengantar istriku belanja. Kuparkir motorku di samping pasar kota. Baru saja kuparkir motorku di sana, bau busuk seketika menusuk-nusuk hidungku. Sampah di mana-mana. Bau yang sangat membuatku tidak nyaman. Tidak ada tempat sampah di sekitarku. Orang mengobrol tentang segala hal. Tanpa terganggu dengan bau busuk ini. Aku teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Orang yang Selalu Cuci Tangan” dan membayangkan diriku adalah orang itu tapi dengan kasus yang berbeda. Jangan-jangan hanya aku yang mencium bau busuk ini karena mungkin hidupku terlalu busuk. Orang-orang terlalu terlihat biasa dengan bau busuk ini. Apakah memang hanya aku yang menciumnya? Aku sangat menyesal karena tidak pakai masker.
Trisentra Pendidikan
Trisentra pendidikan adalah pembagian pusat pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara. Pertama adalah rumah atau keluarga. Dalam keluarga anak-anak dibentuk akhlak dan adabnya. Membangun kesopanan dan kesantunan anak adalah tugas keluarga. Dengan kata lain di sinilah jiwa anak dibentuk. Ki Hajar menggolongkan dua elemen pembentuk manusia yaitu fisik (badan) dan jiwa. Fisik meliputi seluruh badan dan tentu saja otak beserta kemampuan menggunakannya. Sedangkan jiwa meliputi kemampuan anak dalam berakhlak dan memahami penciptanya. Pendidikan formal dalam hal ini sekolah, bertugas utamanya dalam membantu anak mengembangkan fungsi-fungsi kognitifnya. Pengetahuan dan keterampilan adalah garapan utama para guru.
Keterampilan berpikir, misalnya, adalah aspek utama yang harus guru garap dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pendidik. Nah, yang aku heran, mengapa saat ini semua tugas pendidikan seolah-olah diserahkan kepada guru? Kalau ada anak yang bodoh, oke, itu salah guru. Tapi, kalau ada anak yang tak tahu sopan santun, tak punya adab apakah itu salah guru juga? Kalau di sekolah-sekolah bentuk asrama atau pondok pesantren itu wajar saja. Tapi ini pukul rata, semua salah guru. Bodo amat itu guru ponpes, guru asrama, atau guru umum. Pusat pendidikan yang ketiga adalah masyarakat. Sering, kelakuan anak-anak kita, generasi muda kita adalah cerminan masyarakat di sekitar dia tumbuh. Kalau ada anak yang tak suka membaca, misalnya, barangkali memang ia dibesarkan di lingkungan masyarakat yang tak menghargai aktivitas membaca.
Orang tua, guru, dan masyarakat adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas tumbuh kembang generasi penerus bangsa ini. Kalau generasi penerus bangsa ini bobrok pihak yang harusnya paling dipersalahkan adalah ketiga yang saya sebutkan tadi. Tapi nyatanya yang paling sering dipersalahkan adalah guru. Padahal guru sangat terikat dengan sistem pendidikan dan sialnya kita tahu sendiri betapa bobroknya sistem pendidikan di negeri ini. Orang tua dan masyarakatlah yang harusnya paling dipersalahkan sebab mereka memiliki otonomi yang lebih kuat untuk membentuk generasi bangsa.
Komentar
Posting Komentar