Aku tinggal di lingkungan yang masih memegang erat nilai-nilai patriarki. Tidak akan ada yang keberatan kalau aku tak membantu istriku menyelesaikan urusan rumah: beres-beres kamar, menyapu lantai, mencuci baju, mencuci piring, dan merapikan barang-barang. Semua itu dianggap domain perempuan. Orang-orang bahkan menganggap hal-hal seperti itu adalah kodrat seorang perempuan.
Jujur saja, nilai-nilai seperti ini menguntungkan buatku sebagai seorang laki-laki. Tapi, aku punya nilai-nilaiku sendiri. Tak masalah buatku jika harus mengerjakan urusan rumah tangga.
Dari dulu aku suka beres-beres; aku suka menata barang-barang yang tak terletak di tempat seharusnya mereka berada; aku suka membuang barang yang tak digunakan; bahkan mungkin aku punya obsesi pada kerapian.
Bagiku, urusan rumah tangga adalah urusan kerja sama. Format kerja sama tentu boleh berbeda-beda. Suami bekerja di luar rumah dan istri mengurus rumah dan anak-anak bagiku hanyalah salah satu format kerja sama yang tak wajib dipilih.
Ada banyak format kerja sama yang lain, misalnya suami istri sama-sama bekerja dan sama-sama mengurus rumah dan anak; istri bekerja dan suami mengurus rumah dan anak; suami dan istri bekerja sementara rumah diurus oleh seorang pembantu rumah tangga.
Aku menyadari bahwa tanggung jawab rumah tangga adalah tanggung jawab bersama. Ini tak bisa hanya diemban salah seorang saja. Namun, masih banyak orang yang tak berpikir seperti ini. Mereka mengkotak-kotakkan tanggung jawab sehingga sulit menjalin kerja sama. Padahal untuk bisa menjemput salah satu tujuan rumah tangga, yaitu meraih kebahagiaan tak mungkin tanpa kerja sama. Yang paling purba misalnya sex, agar kedua belah pihak bisa sama-sama merasakan kenikmatan, tentu diperlukan kerja sama yang baik.
Yang lebih rumit misalnya mendidik anak-anak. Diperlukan kekompakan dan kegigihan agar orang tua bisa sukses mendidik anak-anaknya. Yang banyak terjadi adalah orang tua yang tak siap mendidik anak sehingga menghasilkan generasi sampah masyarakat yang meresahkan. Sampah masyarakat ini nantinya bisa menghasilkan sampah masyarakat yang baru, dan mengulang siklus terus menerus.
Kesadaran bahwa urusan rumah tangga adalah urusan kerja sama harus dimiliki bahkan sebelum menikah. Maka, saranku kalau mau memilih pasangan, pilihlah yang punya kesadaran seperti ini, biar rumah tangga bisa awet.
Aku punya banyak contoh rumah tangga yang gagal hanya dalam hitungan kurang dari dua tahun. Contoh-contoh ini bahkan kudapat dari kerabat dekatku sendiri. Macam-macam penyebabnya. Ada yang karena masing-masing tak mau mengalah untuk tinggal di salah satu rumah mertuanya, lantas mereka sering cekcok dan akhirnya bercerai. Mereka kurang bisa menilai kemampuan diri sendiri. Kalau belum bisa punya rumah sendiri ya mau tak mau tinggal di rumah mertua. Kalau tak mau tinggal di rumah mertua maka jangan dulu menikah. Harusnya mereka sama-sama punya pemikiran seperti itu sejak awal, atau paling tidak salah satunya punya.
Ada pula yang bercerai karena masalah perasaan. Katanya, pasangannya tak lagi cinta; pasangannya tak lagi sayang; dan sebagainya. Kedua pihak sama-sama ingin dicintai dan ingin disayangi, tapi mereka tak sadar bahwa yang justru lebih penting dalam rumah tangga adalah berusaha mencintai dan berusaha menyayangi. Yang seperti ini biasanya terjadi karena sejak awal yang diutamakan ketika memilih pasangan adalah perasaan. "Aku suka sama dia dan dia suka sama aku, yaudah kami menikah." Begitu.
Perasaan memang penting, tapi ada juga yang tak kalah penting, yaitu kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah. Ini penting karena dalam berumah tangga kita pasti akan menghadapi masalah yang tak bisa dipecahkan hanya dengan mengandalkan perasaan. Dalam membangun rumah tangga, kita pasti akan menghadapi masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan kemampuan berpikir logis dan tentu saja dengan kerja sama.
Komentar
Posting Komentar