Sudah Bagus Ngajar di SMP, Malah Pilih Ngajar di MI yang Honornya Pas-Pasan
Tak lama setelah lulus kuliah, aku mendapatkan pekerjaan sebagai guru di madrasah ibtidaiyah. Aku mengajar matematika di kelas 6 dan sesekali mengajar olah raga kalau guru olah raga yang asli tidak berangkat.
Aku lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengajar matematika dan olah raga tentu tak sesuai dengan latar belakang pendidikanku. Untungnya, dulu aku suka pelajaran matematika sehingga aku tak segan memelajarinya lagi agar bisa mengajarkannya kepada siswa-siswaku. Sedangkan untuk pelajaran olah raga, aku bisa belajar di YouTube sebelum mengajar siswa-siswaku.
Aku akan memilih pelajaran paling gampang menurutku, misalnya servis. Tak jarang, aku hanya mengajak mereka jalan-jalan mengitari beberapa dusun terdekat. Aku teringat dulu guru olah ragaku sering melakukannya juga dan seingatku itu sangat menyenangkan.
Mengajarkan mapel yang tak sesuai dengan latar belakangku tentu membuatku kurang percaya diri. Kadang-kadang aku juga merasa bersalah kalau ada siswaku yang tak paham apa yang kuajarkan.
Namun, waktu tetap berlalu dan aku tetap mengajarkan matematika dan aku mulai terbiasa. Dengan dukungan guru-guru lain rasa percaya diriku perlahan tumbuh dan aku mulai menikmati peranku.
"Menjadi guru tak melulu mengajarkan kepada siswa apa yang ada di dalam mata pelajaran saja. Ada lebih banyak hal di luar mata pelajaran yang bisa kamu ajarkan. Bahkan yang di luar itu bisa jadi lebih berguna buat siswa."
"Ada banyak kerjaan di sini. Kamu tidak akan menganggur meski cuma mengajar satu mapel saja. Pokonya yang penting tiap hari berangkat. Gitu aja."
Begitulah kira-kira dukungan dari rekan-rekanku saat itu.
Aku digaji bukan berdasarkan jumlah jam mengajarku karena kalau dihitung berdasarkan jumlah jam mengajar, tentu gajiku akan sangat kecil. Aku digaji berdasarkan keberangkatanku. Kalau setiap hari aku berangkat tentu makin bagus buatku karena gajiku akan makin banyak. Tapi, itu jadi masalah juga buatku sebab dalam satu minggu biasanya aku hanya mengajar tiga hari saja.
Kalau aku tetap berangkat di hari saat tak ada jam mengajar, aku hanya akan duduk-duduk di kantor saja. Dan, tentu saja aku sungkan kalau datang hanya untuk duduk-duduk saja sementara guru-guru lain sibuk mengajar. Alhasil, aku kerap sengaja tak berangkat saat tak ada jam mengajar. Untunglah saat itu aku masih bujang sehingga soal gaji tak begitu aku risaukan.
Sampai kurang lebih satu tahun, aku tak mencoba mencari pekerjaan lain. Aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu di kampung halamanku dan kebetulan madrasah tempatku mengajar juga ada di kampung halamanku.
Suatu hari sekolah kami kedatangan pengawas. Satu hal yang biasa tentu saja. Beliau bertanya tentang latar belakang pendidikanku dan menyuruhku untuk melamar sebagai guru bahasa Indonesia di SMP atau SMA agar sesuai dengan latar belakang pendidikanku. Aku memikirkan saran beliau tentu saja.
Selang waktu kurang lebih satu bulan, aku dapat informasi bahwa salah satu SMP Negeri di kecamatanku membutuhkan guru bahasa Indonesia. Aku segera melamar di sana. Dari dua orang yang melamar ternyata aku yang dinyatakan lulus seleksi.
Aku mulai mengajar bahasa Indonesia di kelas delapan. Dalam satu minggu, empat hari aku mengajar di SMP dan dua hari aku mengajar di MI. Beberapa bulan berlalu tanpa ada masalah.
Lambat laun aku dipercaya menjadi wali kelas. Tepatnya wali kelas 8C. Kata guru-guru lain kelas 8C itu kelas "istimewa" karena banyak anak-anak yang sulit diatur dan sering bolos. Makin lama beban kerjaku semakin banyak. Selain mengajar Bahasa Indonesia, aku juga diminta mengajar Prakarya dan Seni Budaya karena guru mapel tersebut pindah ke sekolah lain. Selain tugas mengajar, aku juga diminta menjadi operator bantuan Program Indonesia Pintar (PIP). Karena banyaknya tugas yang harus kukerjakan, aku semakin sering membawa pekerjaanku ke rumah. Apalagi jika ditambah dengan tugas-tugasku di MI. Asal kalian tahu saja, guru adalah profesi yang mungkin paling sering membawa pekerjaannya ke rumah.
Aku orang yang tahu diri. Maksudku, aku sadar kemampuanku terbatas dan tak mungkin lagi menjalankan tugas di dua instansi sekaligus, jadi aku memutuskan untuk melepas salah satunya. Awalnya aku memutuskan untuk bertahan di SMP. Namun, ada satu kejadian yang membuatku mengubah keputusanku.
Salah satu guru di MI terpaksa dipindahkan ke sekolah lain dan aku diminta menggantikannya menjadi guru kelas sampai ada guru baru untuk menggantikan guru yang dipindah tersebut. Aku menyanggupinya karena kupikir hanya akan berlangsung sebentar saja. Lagi pula menjadi guru kelas adalah hal baru buatku dan mungkin menyenangkan.
Waktu mengajarku di SMP yang awalnya empat hari kini hanya tiga hari karena sebagai guru kelas di MI paling tidak aku harus masuk tiga kali dalam seminggu.
Menjadi guru mapel sekaligus guru kelas dalam kurun semester yang sama membuatku mampu sedikit membandingkan keduanya.
Guru mapel hanya mengajarkan satu mata pelajaran saja, sehingga ia bisa fokus ke satu mata pelajaran yang paling dikuasainya. Ini tentu menjadi keuntungan tersendiri buat guru mapel. Namun, guru mapel punya tantangan berat karena harus mengajar di kelas-kelas yang berbeda setiap harinya.
Berbeda dengan guru mapel, guru kelas akan mengajar di kelas yang sama setiap hari, dengan siswa yang sama. Bagiku ini adalah sebuah keuntungan. Aku sulit mengenal orang lain. Bahkan saat kuliah, aku harus jadi bendahara dulu baru bisa mengenal teman serombelku. Aku yang sulit mengenal orang lain akan lebih mudah mengajar di kelas yang sama setiap hari dari pada harus berpindah-pindah kelas dengan siswa yang berbeda-beda. Bagaimana kamu mendidik siswamu kalau dengan mereka saja kamu tidak mengenalnya?
Keuntungan lain yang paling aku suka dari menjadi guru kelas adalah kuasa penuh atas kelas yang menjadi tanggung jawabku. Aku bisa mendesain kelas sekehendak hatiku tanpa takut guru lain akan terganggu dengan desain kelasku.
Misalnya, jika aku ingin mengatur tempat duduk kelasku agar membentuk formasi lingkaran maka aku tinggal melakukannya saja. Aku bisa mempertahankan formasi itu untuk satu atau dua minggu. Tak akan ada masalah.
Hal ini tidak bisa kulakukan saat aku jadi guru mapel karena setelah aku mengajar akan ada guru lain yang masuk ke kelas itu. Guru tersebut mungkin saja tidak menghendaki formasi lingkaran yang kubuat. Sehingga aku harus mengembalikan tempat duduk sesuai formasi awal setelah aku mengajar. Dan, aku harus mengulanginya dari awal jika ingin menggunakan formasi itu di kelas yang lain. Ini juga berlaku untuk mempersiapkan media pembelajaran. Akan banyak sekali waktu yang terbuang tentu saja.
Aku mulai tertarik untuk melanjutkan peranku sebagai guru kelas dan memutuskan untuk berhenti mengajar di SMP. Ada beberapa teman dan rekan kerja yang bertanya-tanya. Kenapa tidak mengajar di SMP saja yang sesuai dengan jurusan agar nanti bisa dapat tunjangan, bisa daftar PPPK, honornya lebih bagus, dan banyak keuntungan lainnya. Atau kenapa tak dipertahankan dua-duanya saja, toh banyak guru yang seperti itu. Entahlah. Mungkin karena aku merasa lebih dibutuhkan di MI dari pada di SMP. Konyol memang.
Komentar
Posting Komentar